Kamis, 21 Mei 2015
Kebudayaan Masyarakat Tionghoa Indonesia
HUKUM ADAT
Dosen Pengampu: Natal Kristiyono,
S.Pd, M.H
LAPORAN HASIL PENELITIAN
KEBUDAYAAN MASYARAKAT TIONGHOA
INDONESIA
Disusun Oleh:
Nama: Juranti
NIM: 3301414092
PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN
KEWARGANEGARAAN
JURUSAN POLITIK DAN KEWARGANEGARAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat serta ridho-Nya
penulis dapat mengerjakan dan menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Kebudayaan Masyarakat Tionghoa” ini dengan baik dan lancar. Penulisan makalah ini merupakan
salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah HUKUM ADAT, program studi
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, jurusan Politik dan Kewarganegaraan, Universitas
Negeri Semarang.
Dalam penulisan makalah ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang
membantu dalam menyelesaikan makalah ini, terlebih terima kasih kepada para informan atau orang –orang yang telah
merelakan waktunya untuk memberikan banyak informasi kepada penulis, dan juga khususnya
kepada dosen pengampu mata kuliah HUKUM ADAT, yaitu Bapak Natal Kristiyono yang telah memberikan tugas dan petunjuk
kepada penulis, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan
lancar.
Dalam Penulisan makalah ini penulis
merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi,
mengingat akan kemampuan yang penulis miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari
semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Harapan penulis dari pembuatan
makalah ini yaitu semoga apa yang telah disusun ini dapat memberikan manfaat
bagi pembaca, sehingga dapat membantu belajar mengenai materi yang dibahas ini.
Semarang,
24 April 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN
JUDUL.................................................................................................. 1
KATA
PENGANTAR.................................................................................................. 2
DAFTAR
ISI.............................................................................................................. 3
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang............................................................................................. 5
B.
Perumusan Masalah.................................................................................... 8
C.
Tujuan........................................................................................................ 9
D.
Kontribusi Penelitian................................................................................... 9
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Tinjauan Pustaka....................................................................................... 10
1.
Definisi kebudayaan.................................................................... . 10
2.
Pengertian kebudayaan Tionghoa........................................................ 11
III.
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Lokasi dan Waktu Penelitian....................................................................... 12
B.
Metode Dasar Penelitian........................................................................... 12
C.
Data.......................................................................................................... 12
D.
Alat Penelitian........................................................................................... 13
E.
Langkah-Langkah Penelitian....................................................................... 13
IV.
PEMBAHASAN
A. Hasil
Penelitian...............................................................................................
14
B. Pembahasan....................................................................................................
18
a.
Sejarah masuknya kebudayaan Tionghoa di
Indonesia.............................. 18
b.
Karakteristik budaya Tionghoa di
Indonesia............................................... 19
c.
Sejarah kota welahan..................................................................................
21
d.
Peninggalan budaya tinghoa di
welahan.................................................... 23
e.
Pernikahan dalam tradisi
Tionghoa............................................................. 24
f.
Tradisi kwee pang (anak angkat).................................................................
25
g.
Pelaksanaan pembagian waris dalam adat
Tionghoa................................. 27
h.
Budaya barongshai.......................................................................................
28
i.
Pameran seni dan budaya Tionghoa ...........................................................
29
j.
Wayang
potehi..............................................................................................
32
V.
PENUTUP
A. SIMPULAN........................................................................................................
35
B. SARAN..............................................................................................................
35
VI.
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. ...........
36
LAMPIRAN............................................................................................................ .
37
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Indonesia merupakan sebuah negara yang
kaya akan warisan budaya di dalamnya. Salah satu diantaranya adalah warisan
dari kebudayaan masyarakat Tionghoa. Di Indonesia banyak penduduk yang berkebangsaan Tionghoa, jadi
disini budaya Tionghoa juga sangat mewarnai kebudayaan yang ada di Indonesia
ini. Oleh karena itu kebudayaan Tionghoa perlu di lestarikan sehingga
masyarakat tahu dan tidak lupa akan warisan budaya yang ada di Indonesia.
Seiring berkembangnya zaman, masyarakat
Indonesia sepertinya mulai menipis akan pengetahuan budaya yang ada di
Indonesia. Hal tersebut diakibatkan oleh pesatnya arus globalisasi, yangmana
ditandai dengan banyaknya teknologi modern sekarang ini yang beredar di
kalangan masyarakat. Perkembangan teknologi tersebut mengakibatkan lunturnya
warisan budaya di masyarakat.
Dengan adanya peristiwa tersebut,
penulis tergugah hati dan jiwanya untuk melakukan penelitian tentang Kebudayaan
Masyarakat Tionghoa di Indonesia. Menurut Selosoemaradjan, Kebudayaan merupakan
hasil karya, rasa, dan cipta suatu masyarakat. Kebudayaan tersebut disampaikan
kepada masyarakat dari generasi ke generasi, agar supaya masyarakat tidak
melupakan kebudayaan yang telah ada dan dapat melestarikan budaya tersebut dari
waktu ke waktu.
Orang Tionghoa adalah salah satu bagian
kemajemukan dari Indonesia walaupun mereka seorang imigran dari Cina yang
kemudian menetap dan beralih status menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Para
imigran Tionghoa ini memiliki karakteristik dan kebudayaan mereka sendiri yang
dibawanya dari daerah asal. Kepandaian berdagang dari suku bangsa Hokkien masih
nampak terlihat begitu jelas di masa sekarang ini. Orang Hokkien dan
keturunannya banyak sekali yang berasimilasi,
paling banyak di daerah Indonesia Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Pantai
Barat Sumatera.
Dalam pra modern Cina, sebagian besar orang-orang yang memegang kepercayaan dan
praktek-praktek diamati terkait dengan kematian yang mereka pelajari sebagai
anggota keluarga dan desa-desa, bukan sebagai anggota agama-agama terorganisir.
Kepercayaan dan praktek-praktek semacam itu sering dimasukkan di bawah payung
“agama rakyat Cina.” Kelembagaan bentuk Buddhisme, Konfusianisme, Taoisme, dan
tradisi-tradisi lain menyumbang banyak keyakinan dan praktik agama populer
dalam varian lokal. Hadis-hadis ini, terutama Buddhisme, termasuk ide budidaya
pribadi untuk tujuan hidup dan kehidupan yang ideal, sebagai akibatnya, semacam
mencapai keselamatan akhirat, seperti keabadian, pencerahan, atau kelahiran di
alam surgawi. Namun, keselamatan pribadi memainkan peran kecil dalam agama yang
paling populer. Dalam varian lokal khas agama rakyat, penekanan adalah pada (1)
berpindah dari dunia ini menjadi wilayah leluhur bahwa dalam cara kunci
mencerminkan dunia ini dan (2) interaksi antara orang-orang yang hidup dan
nenek moyang mereka.
Agama Cina belum ditandai
sebagai yang terorganisasi atau sistem terpadu praktik dan kepercayaan.
Sebaliknya telah ditandai sebagai pliralistik sejak awl peradaban Cina tiga
ribu tahun yang lali. Istilah agama di Cina digunakan untuk menggambrkan
hubungan yang rumit dari berbagai agama dan tradisi filsafat di negeri ini.
Agama Cina terutama terdiri dari tiga tradisi utama : Buddhisme, Taoisme dan
Konfusianisme, walaupun yang terakhir ini adalah sekolah filsafat dan bukan
agama. Banyak sarjana termasuk empat tradisi, agama rakyat Cina. Prespektif
keagamaan mayoritas penduduk Cina adalah campuran dari kepercayaan dan praktek dari tradisi keempat. Ini bukan praktik umum kecuali hanya satu agama yang
lain, bahkan ketika mereka sering mengandung unsur-unsur yang saling bertentangan.
Jumlah orang yang
mengikuti ajaran Budha lebih dari 1 miliyar (80%) dan
Taoisme 400 juta (30%). Perhatikan bahwa banyak orang Cina menganggap diri
mereka baik Budha dan Tao. Agama-agama lain juga telah hadir dalam jumlah
kecil di Cina selama beberapa abad, seperti Kristen dengan sekitar 50 juta
(4%), Islam dengan 20 juta (1,5%), Hindu, Dongbaism, dan Bon. Ada juga agama-agama modern lainnya yang meningkatkan jumlah pengikut mereka di negeri ini seperti
Xiantianism dan Falun Gong.
Beberapa dari agama-agama Cina berasal dari negara sendiri (Taoisme, Koghucu).
Tetapi yang lain yang di datangkan dari bagian-bagian lain dunia (Budhaisme dari
India, kekristenan dari Barat). Pada umumnya, orang Cina dapat dengan mudah menyerap apa yang tidak menjadi tradisi dasar mereka, tapi itu tidak sama. Jika ini dipaksakan, seperti yang terjadi selama mongol atau invasi Manchu.
Upaya-upaya religius mereka memberi lebih
percaya diri untuk orang Cina berdasarkan keunggulan keyakinan mereka.
Meskipun jumlah besar
nominal pengikut agama-agama Cina dan bahwa bagian terbesar orang mengatakan bahwa mereka percaya pada Tuhan, takdir, nasib,
keberuntungan dan akhirat, penduduk
Cina tidak memiliki kecenderungan keagamaan yang kuat. Kecenderungan ini telah
sangat meningkat sejak Partai Komunis mengambil kekuasaan di tahun 1949. Pemerintah dianjurkan praktik agama selama puluhan tahun dan selama Revolusi Kebudayaan,
penganiayaan agama yang ekstensif dilakukan, ratusan greja dan kuil-kuil yang hancur.
Namun, banyak orang Cina terus mempraktikkan keyakinan agama mereka, meskipun risiko pribadi yang tinggi. Periode liberalisasi berikut diizinkan
bahwa agama tidak lagi dilarang pada tahun 1982, konstitusi ini dimodifikasi
untuk mentoleransi kebebasan beragama, namun Pemerintah Cina terus menjadi “ateis” dan hari ini, banyak candi yang masih
dianggap hanya “peninggalan budaya”.
Masyarakat Tionghoa Indonesia adalah
bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara secara utuh. Satu dari sekian
banyak ragam etnis yang menjadi corak identitas sosial Nusantara. Masyarakat
Tionghoa memiliki banyak sekali warisan budaya yang ikut mewarnai keberagaman budaya yang ada di Indonesia. Contoh dari warisan budaya dari Tionghoa antara lain yaitu Barongsai,
Liong, Wayang Potehi, Chiau Thao, Tradisi Kwee Pang, Pameran Budaya dan Seni
Peranakan Tionghoa. Semua warisan budaya tersebut merupakan hasil karya, rasa,
dan cipta masyarakat Tionghoa yang perlu dijaga kelestariannya oleh masyarakat
Indonesia.
Tradisi Kwee Pang atau anak angkat dewa, dimana tradisi itu dilakukan bagi anak yang baru lahir yang
kemudian dibawa ke klenteng untuk di mintakan perlindungan kepada dewa selama
hidupnya dan supaya dewa membersihkan dirinya dari segala sesuatu yang jahat
bagi dirinya dan dapat dijauhkan dari sesuatu yang jahat tersebut.
Pagelaran serangkaian acara kebudayaan
biasanya dilakukan dalam waktu-waktu tertentu saja, misalnya Barongsai dan
Wayang Potehi biasa di gelar atau di pertunjukkan secara besar-besaran ketika
perayaan tahun baru Imlek. Pameran Budaya dan Seni Peranakan Tionghoa juga
biasa digelar pada event-event besar
tertentu yang diadakan oleh pihak yang ingin mengadakan pameran tersebut.
Begitu juga budaya Tionghoa lainnya.
Pada bagian pembahasan makalah ini akan
dibahas lebh lanjut mengenai budaya-budaya yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Berikut adalah hal-hal yang akan di ulas dalam pembahasan makalah ini:
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
saja kebudayaan Tionghoa yang ada di Indonesia?
2. Bagaimana
penjelasan yang terkait dengan kebudayaan masyarakat Tionghoa itu?
C.
TUJUAN
PENELITIAN
Tujuan penulis
melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menyelesaikan
tugas mata kuliah Hukum Adat
2. Mencari
tahu tentang warisan budaya yang ada di Indonesia
3. Mengetahui
apa saja dan bagaimana kebudayaan masyarakat Tionghoa
4. Menambah
pengetahuan penulis akan berbagai macam warisan budaya yang mewarnai Indonesia
5. Melestarikan
warisan budaya dari leluhur bangsa Indonesia
D.
KONTRIBUSI
PENELITIAN
Dalam melakukan penelitian ini, penulis
mencari informasi dari daerah sekitar dimana penulis berasal dan berdomisli
tetap disana. Penulis melaksanakan observasi tentang Kebudayaan Masyarakat
Tionghoa di desa Welahan, kecamatan Welahan, kabupaten Jepara, Provinsi Jawa
Tengah. Penelitian dilaksanakan pada hari Sabtu, tanggal 2 Mei 2015. Penulis
berkesempatan untuk mewawancarai salah satu warga keturunan Tionghoa di daerah
tersebut. Narasumber tersebut adalah Cici salah seorang penjual bahan-bahan
adonan kue yang ada di sekitar pasar Welahan. Dan juga teman SMP dari penulis
sendiri yang bernama Erica. Selain itu, penulis juga melakukan wawancara
dengan narasumber lainnya, yaitu seorang mahasiswa keturunan
Tionghoa bernama Saiful Mustofa Lie. Dia mahasiswa semester empat (4) jurusan
bahasa Mandarin di kampus Universitas Negeri Semarang ini. Saya mewawancarai
koh Lie pada hari Rabu, tanggal 29 April 2015 mulai pukul 17.00 sampai dengan
pukul 19.30.
Oleh karena itu dapat di tarik
kesimpulan bahwa kontribusi dari penelitian yang di lakukan oleh penyusun
makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Melatih softskill mahasiswa dalam
berinteraksi dengan masyarakat di luar kampus
2.
Membentuk kepribadian mahasiswa yang
peduli sosial
3.
Mengetahui berbagai macam warisan budaya
yang ada di Indonesia
4.
Memahami warisan budaya Tionghoa yang
ada di Indonesia
5.
Menjadikan mahasiswa berpikir kritis
mengenai warisan budaya
6.
Berkontribusi dalam melestarikan warisan
budaya yang ada di Indonesia
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
DEFINISI
KEBUDAYAAN
Pengertian budaya/culture menurut Sir Edward Burnett Tylor, seorang
antropolog Inggris, dalam bukunya
"Primitive Culture" , 1871, mengatakan bahwa budaya adalah "keseluruhan
yang kompleks dari cakupan pengetahuan, kepercayaan , seni, moral, hukum,
adat-
istiadat, dan termasuk kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh setiap orang
sebagai anggota masyarakat."
Pandangan ini memiliki pengaruh yang besar sekali yang
dibidang riset / penelitian mengenai histori budaya. Yang mana sampai sekarang bisa dijadikan acuan dan bahan pertimbangan
kita mengenai pengenalan budaya. Kemudian hari, orang-orang masing-masing memberikan pengertiannya sendiri
mengenai arti budaya ini, diantaranya mungkin lebih condong kearah historis,
ataupun lebih condong kearah normatif, atau psikologis, maupun bersifat warisan, dan sebagainya.
Tidak perduli ada berapa macam pengertian “budaya” tersebut, tapi ada satu
hal yang paling utama, yakni inti daripada budaya adalah manusia. Adanya
manusia baru menciptakan budaya. Budaya adalah manifestasi dari daya
cipta kecerdasan umat manusia. Cheng Yuzhen dalam bukunya “ Garis Besar Budaya
Tionghoa, 1997 mengatakan "masing-masing suku bangsa menciptakan budaya yang berbeda dengan suku bangsa lainnya. manusia
menciptakan budaya, dan juga menikmati hasil
dari budaya, pada saat itu pula terikat oleh budaya,dan akhirnya juga harus
terus memperbaharui budaya tersebut. Kita semua adalah pencipta budaya, sekaligus menikmati dan pengubah budaya tersebut. Manusia walaupun terikat oleh budaya , namun manusia selamanya
aktif berkutat dalam budaya. Ketiadaan manusia untuk aktif di dalam penciptaan
budaya, maka budaya itu sendiri akan kehilangan kecemerlangannya,
kehilangan daya hidupnya / vitalitasnya, dan akhirnya akan lenyap dan punah. Kita memahami dan mempelajari budaya, sebenarnya adalah mempelajari dan menyelidiki pikiran
kreativitas , perilaku kreativitas , jiwa kreativitas, cara kreativitas manusia
dan hasil kreativitas yang diciptakan oleh manusia.
B.
PENGERTIAN
KEBUDAYAAN TIONGHOA
Kebudayaan Tionghoa adalah maha
karya orang Tionghoa dalam sejarah perkembangannya yang sangat panjang,dan
merupakan kristalisasi kecerdasan serta daya cipta orang Tionghoa.
Dalam sejarah selama ribuan tahun, budaya Tionghoa selalu bersinar, dan memiliki pengaruh yang luar biasa bagi orang-orang Tionghoa baik masa lalu maupun sekarang. Disamping itu, dengan setelah adanya 'jalur sutera', pada jaman dinasti Han, budaya tionghoa juga menyumbang dan berpengaruh terhadap sejarah dan kebudayaan barat. Apalagi sekarang, dalam era modern ini,dimana komunikasi secara global tidak menemui halangan,maka penyebarannya sangat luar biasa cepat, dan pengaruhnya juga semakin luas bagi dunia. Sekarang,orang-orang dari belahan dunia lain semakin tertarik kepada Budaya Tionghoa, misalnya untuk mempelajari Bahasa Mandarin,dimana-mana orang-orang yang berminat belajar Bahasa Mandarin semakin hari semakin banyak. Sekolah,kursus,kelas untuk belajar Bahasa Mandarin yang semakin banyak dibuka.ini adalah salah satu contoh dari segi bahasa,belum lagi masakan,seni pertunjukan, karya sastra seperti buku seni perang Sun zi / Sunzi Bingfa ,kisah tiga kerajaan / san guo yanyi, sangat digemari oleh orang-orang.
Dalam sejarah selama ribuan tahun, budaya Tionghoa selalu bersinar, dan memiliki pengaruh yang luar biasa bagi orang-orang Tionghoa baik masa lalu maupun sekarang. Disamping itu, dengan setelah adanya 'jalur sutera', pada jaman dinasti Han, budaya tionghoa juga menyumbang dan berpengaruh terhadap sejarah dan kebudayaan barat. Apalagi sekarang, dalam era modern ini,dimana komunikasi secara global tidak menemui halangan,maka penyebarannya sangat luar biasa cepat, dan pengaruhnya juga semakin luas bagi dunia. Sekarang,orang-orang dari belahan dunia lain semakin tertarik kepada Budaya Tionghoa, misalnya untuk mempelajari Bahasa Mandarin,dimana-mana orang-orang yang berminat belajar Bahasa Mandarin semakin hari semakin banyak. Sekolah,kursus,kelas untuk belajar Bahasa Mandarin yang semakin banyak dibuka.ini adalah salah satu contoh dari segi bahasa,belum lagi masakan,seni pertunjukan, karya sastra seperti buku seni perang Sun zi / Sunzi Bingfa ,kisah tiga kerajaan / san guo yanyi, sangat digemari oleh orang-orang.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
A.
Lokasi
dan Waktu Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan di daerah asal
peneliti,
yaitu desa Welahan, Kecamatan Welahan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Penelitian ini dilaksanakan tiga kali,
yaitu pada akhir pekan minggu ke dua, minggu ke tiga, dan minggu ke empat pada
bulan April 2015.
Pemilihan
lokasi penelitian dilakukan secara sengaja dengan kriteria yaitu, (1) desa Welahan merupakan daerah di Kabupaten Jepara yang memiliki klentheng
(tempat sembahyang orang-orang Tionghoa)
tertua di Indonesia yang mana di daerah tersebut banyak penduduk
Tionghoa yang bertempat tinggal disana, (2) pada areal tersebut masyarakat Tionghoa masih melakukan kebiasaan-kebiasaan/adat Tionghoa seperti
pameran kesenian, budaya dan lain-lain.
B.
Metode
Dasar Penelitian :
Metode
dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah Diskriptif analisis dengan
pendekatan survey dan pendekatan .
Obyek penelitian yang dilakukan oleh
penyusun adalah sekumpulan orang-orang atau penduduk Tionghoa yang bertempat tinggal di
wilayah Welahan,kabupaten Jepara Jawa
Tengah dan juga mahasiswa keturunan tionghoa yang ada di sekitar lingkungan
kampus UNNES.
C.
Data
Data
yang digunakan oleh peneliti untuk penelitian di wilayah tersebut adalah Data Primer. Data primer diperoleh
langsung dari wawancara dan juga pengamatan
kepada responden : masyarakat Tionghoa yang bertempat tinggal di sekitar klentheng, pengurus
klenteng, dan juga masyarakat non-Tionghoa yang tinggal di sekitar wilayah desa
Welahan tersebut serta mahasiswa keturunan Tionghoa yang berada di sekitar
kampus UNNES Sekaran Gunungpati Semarang.
D.
Alat
Penelitian : alat tulis,
kamera, perekam suara, dan alat
untuk mengolah data menjadi makalah yang baik dan benar adalah komputer.
E.
Langkah-langkah
Penelitian :
Dalam melaksanakan penelitian tentang
kebudayaan masyarakat tionghoa ini, penyusun berkunjung ke desa Welahan, kabupaten Jepara,
dimana lokasi tersebut dekat dengan daerah tempat tinggal peneliti. Peneliti
datang ke lokasi penelitian dengan membawa peralatan seperti alat tulis,
kamera, maupun perekam suara. Peneliti kemudian melakukan penelitian di lokasi
klentheng dan sekitarnya. Selain di desa Welahan tersebut yang terkenal dengan
sebutan salah satu desa Pecinan di Jepara, penyusun juga melakukan penelitian
ini di kawasan kampus UNNES Sekaran. Penyusun mewawancarai salah seorang
mahasiswa dari fakultas bahasa dan seni UNNES jurusan bahasa Mandarin. Peneliti
melakukan wawancara dengan narasumber
guna memperoleh data/infomasi dari penduduk tioghoa maupun masyarakat biasa
disekitar wilayah tersebut. Peneliti mencatatat informasi dari narasumber
tersebut. Peneliti kemudian melakukan pengamatan di sekitar area penelitian.
Peneliti juga mengambil gambar-gambar dengat peralatan kamera yang telah
dibawanya tersebut.
BAB
IV
PEMBAHASAN
A.
HASIL
PENELITIAN
Kebudayaan China atau biasa dikenal juga
dengan sebutan kebudayaan Tionghoa adalah warisan budaya dari leluhur bangsa
Tionghoa yangmana warisan budaya tersebut berasal dan berpusat dari negara
China. Banyak sekali kebudayaan atau tradisi yang dilakukan oleh masyarakat
Tionghoa, antara lain tradisi Pernikahan, tradisi anak angkat, berbagai macam
kesenian sampai dengan kebiasaann minum
teh yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa.
Menurut narasumber, yaitu mahasiswa
jurusan bahasa Mandarin Unnes Sekaran , Saiful Mustofa Lie, salah seorang
mahasiswa yang mempunyai garis keturunan Tionghoa. Koh Lie, berasal dari kota
Pati Jawa Tengah. Menurutnya, kebudayaan
china memang sangat beragam dan memberi warna tersendiri bagi kebudayaan yang
ada di wilayah negara Indonesia. Masyarakat Tionghoa yang ada di Indonesia
berasal dari suku-suku yang berbeda. Diantaranya yaitu suku Han. Suku Han
adalah suku mayoritas yang ada di Indonesia, sedangkan suku minoritasnya adala
suku Kongfu, Sing Cyang, Tinglet dan lain sebagainya. Menurutnya kebanyakan masyarakat Tionghoa
berada di wilayah kepulauan Sumatera dan Kalimantan. Di daerah Singkawang,
sebanyak 98% merupakan penduduk asli
maupun keturunan Tionghoa. Keturunan Tionghoa yang ada di Indonesia mempunyai
dua sebutan yaitu China Totok dan China
Peranakan. Menurut koh Lie, china Totok adalah orang china ataupn keturunannya
yang tidak mengetahui sama sekali adat ataupun tradisi masyarakat Tionghoa dan
jga tidak mengerti bahasa asli Tionghoa/China yang sebenarnya. Sedangkan china
peranakan adalah hasil keturunan dari
perkawinan antara orang china asli dengan penduduk pribumi yang ada di wilayah
Indonesia, dimana mereka malah mengerti, tahu
akan tradisi/adat dan juga bahasa yang biasa di lakukan dan digunakan
oleh masyarakat Tionghoa pada umumnya.
Menurut Lie, jika terjadi perkawinan antara orang china atau keturunannya
dengan orang pribumi misalnya orang Jawa, maka orang ketuunan Tionghoa tersebut
di coret dari keluarga dan marganya serta mereka juga tidak berhak atas warisan
oang tua mereka. Keturunannya pun tidak
berhak atas marga yang pernah dimiliki oleh salah satu orang tuanya yang pada
saat itu mendapatkan tambahan nama marga dibelakang namanya dari
keluarga. Pada zaman rezim Soeharto, keturunan Tionghoa tidak boleh dicantumkan
nama marga di nama bagian belakang si anak. Akan tetapi setelah Soeharto
lengser, kemudian digantikan oleh Brigjen Haibie, yang kemudian berganti kekuasaan
dimana kekuasaan tersebut ada di tangan Abdurrakhman Wahid
(Gusdur), peraturan lama dicabut dan
akhirnya diberlakukannya kembali aturan untuk masyarakat Tionghoa, mereka bebas
untuk menyelenggarakan kebiasaan mereka dan mereka boleh menggunakan nama marga
mereka kembali pada nama belakang yang dimliknya. Jika keturuannya tersebut laki-laki dan
merupakan anak pertama laki-laki dari pernikahan tionghoa-pribumi tadi, dan
anak laki-laki tersebut menginginkan marganya kembali dia harus menikah dengan
orang keturunan China terlebih dahulu. Dengan begitu dia berhak atas nama marga
yang pernah dimiliki oleh salah satu orang tuanya. Mengenai perkawinan
masyarakat Tionghoa, untuk adat yang dipakai dalam suatu upacara adat
perkawinan biasanya karena kesepakatan dari kedua belah pihak keluarga, yaitu
kesepakatan dari pihak laki-laki dan pihak perempuan. Akan tetapi, yang
memiliki keturunan Tionghoa biasanya tidak mau
mengalah, mereka tetap mengusahakan ada adat tionghoa didalamnya walau
tidak mendominasi.
Dalam membahas pernikahan tidak akan
lepas dari pembicaraan mengenai anak. Dalam kebudayaan Tionghoa terdapat
tradisi Kwee Pang atau anak angkat. Kwee pang meupakan sebuah tradisi atau
kebiasaan dimana seorang bayi yang baru
lahir dari pernikahan keturunan Tionghoa harus dibawa ke Klenteng untuk
di bersihkan disana. Tujuan dari Kwee Pang atau anak angkat ini adalah agar
anak yang baru lahir ini menjadi anak yang bersih pengaruh roh-roh jahat,
bersih dai segalanya dan agar anak tersebut selalu dilindungi oleh Dewa selama
hidupnya.
Di lingkungan orang China sebuah kelarga
memiliki banyak anak atau keturnan itu adalah salah hal yang wajar. Bagi mereka
anak adalah titipan dewa yang harus dijaga dan dirawatnya hingga dewasa dan
menikah membentk keluarga baru sendiri. Di China, orang yang memiliki banyak
anak jutru malah mendapatkan penghargaan dari pemerintah China sana.
Kebudayaan yang sifatnya berupa kesenian
dari Tionghoa ragamnya sangat banyak sekali, seperti Barongsai. Barongsai
filosofinya itu katanya terdiri atau terbentuk dari gabungan 9 (sembilan) hewan,
dimana barongsai itu di selenggarakan guna untuk mengusir roh-roh jahat atau
setan-setan yang bermaksud untuk menjerumuskan manusia atau masyarakat ke arah
yang buruk. Selain itu, ada juga kesenian Wayang Potehi, menurutnya wayang
potehi adalah sebuah pentas permainan dengan menggunakan alat bantu berupa
boneka atau wayang yanb biasanya dimainkan sebuah cerita mengenai sejarah
masyarakat tionghoa pada zaman dahulu, tentang dewa-dewa yang di percayai oleh
orang-orang Tionghoa dan juga kisah 3
(tiga) negara yang ada di dunia semesta
ini. Pameran kesenian lainnya, yaitu
pameran seni dan budaya Tionghoa yang di gelar ketika ada
peristiwa-peristiwa besar. Biasanya pameran itu berupa pameran benda-benda khas
peninggalan masyarakat Cina seperti keramik, guci, maupun benda-benda lain yang
mempunyai nilai sejarah bagi masyarakat Tionghoa. Pameran tersebut di gelar
untuk umum, sehingga masyarakat umum pun di bolehkan untuk menikmati juga acara
pameran tersebut.
Masyarakat Cina atau masyarakat Tionghoa
pada umumnya sangat menyukai warna merah
dan juga warna kuning. Mengapa demikian? Alasannya yaitu karena menurut
kepercayaan mereka ( masyarakat Cina/masyarakat Tionghoa) warna-warna tersebut
melambangkan sebuah keberanian, kebaikan dan kesejahteraan di dalam kebudayaan
Tionghoa. Warna merah menunjukkan kegembiraan, semangat yang pada akhirnya akan
membawa nasib baik. Pakaian yang mereka kenakan juga kebanyakan berwarna merah
dan kuning yang biasanya pakaian atau baju tersebut bermotifkan hewan naga.
Konon katanya, pada zaman dulu baju bermotif naga hanya boleh di kenakan oleh
seorang raja. Tapi sekarang sudah tidak demikian.
Masyarakat Cina mempunyai banyak
hari-hari besar yang biasanya sangat meriah peringatannya. Salah satunya adalah
peringatan hari raya Imlek, Tahun Baru Imlek, dan lain sebagainya. Pada
hari-hari seperti itu biasanya diadakan ata di selenggarakan sebuah pesta di
sekitar klentheng, mereka mengadakan pertunjukkan berupa arak-arakan Barongsai,
pertunjukan Wayang Potehi, pameran gerabah, dan lain sebagainya. Pertunjukan
tersebut biasanya di gelar selama satu minggu berturut-turut.
Membahas orang Cina atau keturunannya
(Tionghoa) tidak lepas dari pembicaraan mengenai makanan khas dari masyarakat
Tionghoa, yaitu ada Kue Keranjang yangmana kue tersebut bisa di bilang sebagai
kue tahunan, ada kuetiaw, ada bakcyang, ada bakso dan mie ayam yang konon
katanya menjadi ciri khas makanan masyarakat Cina.
Orang-orang maupun masyarakat Cina,
mempunyai ciri khas lain yaitu Sio. Sio adalah sebuah simbol yang mennjukkan
sifat seseorang yang dapat di ketahui dari tahun lahir seorang manusia di muka
bumi ini. Mereka juga mempercayai apa yang namanya sugesti. Bagi mereka sugesti
yang ada di pikiran orang-orang Cina akan sangat mempengaruhi dalam kehidupan
nyata mereka. Oleh karena itu, mereka selalu bersugesti hal-hal yang positif
yangmana itu dapat membawa kebaikan bagi kehidupan nyata mereka. Misalnya
mereka hitung-hitungan masalah untung-rugi. Kebanyakan Orang Cina tidak mau
rugi dalam hal bisnis atau usaha. Mereka akan berusaha untuk menjual habis
barang dagangannya dengan harga yang sama. Mereka tidak akan menjual barang
dagangan mereka dengan harga yang rendah agar dagangan mereka habis. Mereka
berpikiran bahwa setiap upiah yang dapat mereka jual itu sangatlah menguntungkan.
Mereka selalu membedakan antara uang modal dengan uang penghasilan. Beda sekali
dengan orang-orang atau penduduk lainnya yang ada di Indonesia.
Orang Cina juga memiliki budaya untuk
orang yang meninggal. Biasanya orang Cina yang meninggal dunia akan di
mintakan hari baik ke orang pintar atau
orang yang tahu sekali akan budaya Cina. Orang yang meninggal tersebut akan di
perhitungkan antara hari lahir dan hari meninggalnya itu. Hal terseut di
lakukan guna mencari hari baik untuk dilakukan pemakaman bagi orang Cina yang
telah meninggal dunia tersebut. Orang Cina yang meninggal dunia, biasanya
dimakamkan sesuai permintaan orang yang meninggal atau permintaan dari pihak
keluarga yang di tinggalkan, apakah menginginkan jasad dari orang cina tersebut
di bakar ataukah langsung di kuburkan di tempat pemakaman.
Budaya orang atau masyarakat Cina tidak
hanya yang telah di ceritakan diatas, ada lagi kebiasaan yang disebut dengan
Pancya. Pancya adalah bancaan atau syukuran dimana itu sebagai perwujudan rasa
syukur kepada dewa dewi atas nikmat yang telah di berikan kepada mereka. Selain
itu, mereka juga mempunyai kebiasan yaitu
jika bertamu ke rumah orang lain jangan
sekali-sekali menghabiskan sekaligus suguhan yang diberikan oleh orang cina
tersebut, setidaknya sisakan sedikit. Disamping itu, ada lagi kebiasaan yang
dilakukan oleh masyarakat Cina di bidang kesehatan, mereka terkenal akan
pengobatan tradisionalnya. Ada juga kesenian olah raga yaitu kungfu.
B.
PEMBAHASAN
a.
Sejarah Masuknya Masyarakat Tionghoa di Indonesia
Orang-orang Cina yang datang ke Indonesia pada umumnya berasal dari provinsi
Fukien dan Kwang Tung
(Koentjaraningrat, 2002: 354).
Khusus penghuni kawasan Pecinan Welahan adalah orang-orang Cina yang
berasal dari suku Hokkian, Hokcia, Hinghwa, Hakka atau Khek, Hainan dan lain
sebagainya. Walaupan orang-orang Cina di
Welahan terdiri dari
berbagai suku, masyarakat Indonesia hanya membedakan
orang-orang Cina berdasarkan keaslian etnisitasnya sebagai Cina
Totok dan Cina Peranakan. Dalam pandangan masyarakat
Indonesia Cina Totok adalah orang-orang Cina yang dilahirkan oleh ayah dan ibu
yang berasal dari Cina, dilahirkan di Cina dan melaksanakan tradisi atau
kebiasaan-kebiasaan sesuai dengan tradisi dan kebiasaan dari
negeri asalnya. Cina Peranakan adalah
orang Cina yang dilahirkan dari perkawinan orang Cina dan perempuan setempat (pribumi) dan mereka sudah tidak terlalu ketat melaksanakan adat dan tradisi dari negara asalnya, bahkan
dalam kehidupan sehari-hari mereka menyesuaikan diri dengan adat, tradisi dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat.
Budaya dan tradisi Cina di kawasan Pecinan walaupun sudah mengalami perubahan tetapi
masih terpelihara dengan baik. Hal ini merupakan bentuk ethnosentrisme dari masyarakat Cina yaitu perasaan yang menganggap kebudayaan dan tradisi dari negeri leluhur mereka lebih
tinggi dibandingkan dengan kebudayaan lain. Ethnosentrisme masyarakat Cina
didasari oleh ajaran Confusius yang berasaskan familinisme, yaitu anggapan
bahwa semua orang Cina adalah satu keluarga besar yang berpusat di negeri Cina. Ajaran ini bertujuan
untuk menyatukan orang Cina di seluruh dunia dan agar mereka selalu ingat dan
berbakti kepada leluhur dan negara
asalnya (Hidayat, 1993: 34).
Sejak dicabutnya Instruksi Presiden No. 14/ 1967
yang membatasi aktivitas yang berkaitan dengan kepercayaan dan budaya
masyarakat Cina, maka masyarakat Cina di
Kawasan Pecinan dewasa ini sudah lebih leluasa melaksanakan aktivitas yang
berkaitan dengan kepercayaan dan budaya mereka. Sebagai akibat dari pergaulan
dan interaksi sosial yang cukup lama antara masyarakat Cina dengan kelompok
etnis lain, baik pribumi maupun etnis dari
luar Indonesia, dewasa ini masyarakat Cina di kawasan Pecinan sudah banyak yang
menjadi pemeluk agama-agama yang diakui negara seperti Budha, Islam, Kristen
/Protestan dan Katolik. Orang-orang Cina di kawasan Pecinan Welahan seperti
orang-orang Cina yang ada di daerah-daerah lain di Indonesia, pada umumnya
melaksanakan ritual-ritual yang berkaitan dengan pemujaan Budha, Tao dan
Confusius.
Falsafah Cofucianisme lebih menekankan pada etika kehidupan yang
bersifat duniawi (Koentjaraningrat, 2002: 367). Ajaran Confucianisme merupakan
cara pembelajaran menjadi manusia melalui interaksi dengan sesama manusia
secara terus menerus. Pembelajaran
menjadi manusia ini mengandung empat dimensi pemahaman yaitu pertama, berkaitan
dengan cara menyatukan dan menyelaraskan antara hati dan pikiran dengan tubuh
dan jiwa. Kaduna, care menjalin hubungan yang bermanfaat
dengan komunitas manusia secara luas, baik dengan keluarga, masyarakat, bangsa
dan komunitas global. Ketiga, care menjalin hubungan yang harmonis, bermanfaat dan
berkelanjutan dengan alam. Keempat, care menyelaraskan hubungan antara jiwa dan pikiran dengan
Tuhan penguasa semesta (Tu Wei - Ming , 2005: 14).
Interaksi sosial dengan masyarakat dari berbagai etnis yang ada di
Indonesia yang telah berlangsung lama menyebabkan pengaruh budaya dari etnis
lain masuk ke dalam budaya Cina. Pengaruh budaya Melayu
dan budaya Jawa tampak pada budaya Cina yang bersifat material (fisik) dan non
material. Berkaitan dengan kegiatan religi, tradisi
dan kepercayaan masyarakat Cina
tidak mengalami pengaruh yang signifikan dari kepercayaan lain karena
masyarakat Cina masih sangat kuat menjalankan aktivitas kepercayaan Tao dan Confusius.
b.
KARAKTERISTIK ETNIS DARI BUDAYA TIONGHOA
Karakteristik dari budya dibagi menjadi
dua, yakni eksternal dan internal, eksternal adalah wujudnya,
atau bentuk dari budaya itu sendiri, sedangkan internal adalah
karakternya yakni spiritnya dari budaya itu. Namun para ahli masih berbeda
pendapat mengenai kedua karakteristik ini, kalau disimpulkan wujud eksternalnya dapat dibagi menjadi empat
aspek,yaitu:
1. Aspek yang biasa disebut dengan aspek Kesatuan
Budaya Tionghoa dalam sejarahnya selama ribuan tahun, secara pelan-pelan membentuk sebuah budaya yang menjadikan Tionghoa sebagai pusat/sentral, dan bersamaan juga menhimpun budaya bangsa lain menjadi bagian/terintegrasi dalam budaya Tionghoa. Bentuk penyatuan ini berfungsi kuat dalam pengasimilasian, dan perlu kita ketahui bahwa budaya tionghoa dalam sejarah Tiongkok jaman apapun tidak pernah pecah dan tercerai berai.walaupun mendapatkan ancaman dari luar,kekacauan politik,perpecahan negara., budaya Tionghoa masih tetap utuh kokoh.karakteristik ini sangat sulit ditemukan dalam kebudayaan bangsa lain didunia.
2. Aspek yang kedua yaitu aspek Kontinu / berkesinambungan
Dalam zhongguo wenhua gailun-garis besar budaya Tionghoa, Li Zhonghua, mengatakan bahwa kebudayaan Tionghoa dalam sejarah perkembangannya tidak pernah putus,melainkan berkembang secara berkesinambungan dalam berbagai dinasty.tidak seperti kebudayaan Mesir kuno, Babylon, ataupun kebudayaan Yunani kuno.
3. Sangat menerima, dan tenggang rasa
Budaya Tionghoa sangat welcome terhadap budaya lain. semuanya diterima baik didalamnya.seperti agama Buddha yang berasal dari India, semuanya diterima menjadi bagian dari budaya Tionghoa itu sendiri.
4. Yang ke empat adalah Aspek keanekaragaman
Meskipun budaya Tionghoa merupakan satu kesatuan yang utuh ,namun dengan berbagai suku bangsa dan sub suku bangsa didalamnya menjadikannya sangat beraneka ragam.
Adapun karakteristik internal itu juga banyak aspeknya, tapi pada umumnya adalah
1. Karakteristik filosofis.
Menurut Feng Youlan, budaya Tionghoa ditinjau dari aspek filosofisnya adalah unsur confusianisme yang dominan, confusianisme sangat berperan penting dalam membangun moralitas dan psikologis orang Tionghoa.
2. Karakteristik religius
Menurut Ren Jiyue, budaya Tionghoa dari aspek religius terbentuk dari tiga agama yang menyatu, yakni konfusianisme,taoisme,dan buddhisme.
3. Karakteristik estetika
menurut Li Zehou, budaya Tionghoa dtinjau dari aspek estetika, tradi budaya Tionghoa terbentuk dari kumpulan aspek sosiopolitik dan filosofis.
4. Karakteristik etika
Menurut Liang Shuming, budaya Tionghoa menjadikan etika,hubungan antar manusia sebagai dasar, orang tua harus menyayangi anaknya,anak harus berbakti terhadap orang tua,dll.
1. Aspek yang biasa disebut dengan aspek Kesatuan
Budaya Tionghoa dalam sejarahnya selama ribuan tahun, secara pelan-pelan membentuk sebuah budaya yang menjadikan Tionghoa sebagai pusat/sentral, dan bersamaan juga menhimpun budaya bangsa lain menjadi bagian/terintegrasi dalam budaya Tionghoa. Bentuk penyatuan ini berfungsi kuat dalam pengasimilasian, dan perlu kita ketahui bahwa budaya tionghoa dalam sejarah Tiongkok jaman apapun tidak pernah pecah dan tercerai berai.walaupun mendapatkan ancaman dari luar,kekacauan politik,perpecahan negara., budaya Tionghoa masih tetap utuh kokoh.karakteristik ini sangat sulit ditemukan dalam kebudayaan bangsa lain didunia.
2. Aspek yang kedua yaitu aspek Kontinu / berkesinambungan
Dalam zhongguo wenhua gailun-garis besar budaya Tionghoa, Li Zhonghua, mengatakan bahwa kebudayaan Tionghoa dalam sejarah perkembangannya tidak pernah putus,melainkan berkembang secara berkesinambungan dalam berbagai dinasty.tidak seperti kebudayaan Mesir kuno, Babylon, ataupun kebudayaan Yunani kuno.
3. Sangat menerima, dan tenggang rasa
Budaya Tionghoa sangat welcome terhadap budaya lain. semuanya diterima baik didalamnya.seperti agama Buddha yang berasal dari India, semuanya diterima menjadi bagian dari budaya Tionghoa itu sendiri.
4. Yang ke empat adalah Aspek keanekaragaman
Meskipun budaya Tionghoa merupakan satu kesatuan yang utuh ,namun dengan berbagai suku bangsa dan sub suku bangsa didalamnya menjadikannya sangat beraneka ragam.
Adapun karakteristik internal itu juga banyak aspeknya, tapi pada umumnya adalah
1. Karakteristik filosofis.
Menurut Feng Youlan, budaya Tionghoa ditinjau dari aspek filosofisnya adalah unsur confusianisme yang dominan, confusianisme sangat berperan penting dalam membangun moralitas dan psikologis orang Tionghoa.
2. Karakteristik religius
Menurut Ren Jiyue, budaya Tionghoa dari aspek religius terbentuk dari tiga agama yang menyatu, yakni konfusianisme,taoisme,dan buddhisme.
3. Karakteristik estetika
menurut Li Zehou, budaya Tionghoa dtinjau dari aspek estetika, tradi budaya Tionghoa terbentuk dari kumpulan aspek sosiopolitik dan filosofis.
4. Karakteristik etika
Menurut Liang Shuming, budaya Tionghoa menjadikan etika,hubungan antar manusia sebagai dasar, orang tua harus menyayangi anaknya,anak harus berbakti terhadap orang tua,dll.
c. Sejarah Kota Welahan
Pada tahun
1830 dimana Gubernur Jendral Belanda yaitu Johanes Graaf Van Bosch berkuasa di
Indonesia, yang pada waktu itu disebut penjajahan Hindia Belanda, datanglah
seorang Tionghoa totok dari Tiongkok bernama Tan Siang Boe. Kepergiannya dari
Tiongkok menuju ke Asia Tenggara tersebut perlu mencari saudara tuanya bernama
Tan Siang Djie di Indonesia. Sewaktu berangkat dari Tiongkok bersamaan dalam
satu perahu yang ada di dalamnya seorang Tasugagu Pendeta dimana Tasu
tersebut selesai bersemedi dari Pho To San di wilayah daratan Tiongkok, yang
merupakan tempat pertapaan dari paduka menteri/ kaisa “ Hian Thian Siang Tee “.
Ditengah
perjalanan tasu tersebut jatuh sakit, sehingga dirawat Tan Siang Hoe dengan bekal
obat – obatan yang dibawanya dari Tiongkok, sehingga sembuh. Sebagai terima
kasih, Tan Siang Boe diberikan satu kantong yang berisi barang–barang pusaka
kuno Tiongkok antara lain sehelai sien tjiang (kertas halus bergambar
Paduka Hian Thiam Siang Tee), sebilah po kiam (pedang Tiongkok), satu hio lauw
(tempat abu), dan satu jilid tjioe hwat (buku pengobatan/ramalan).
Setelah Tan
Siang Boe tiba di Semarang, menginap di rumah perkumpulan “Kong Kwan”
memperoleh keterangan bahwa saudara tuanya / kakaknya ada di daerah Welahan
Jepara, maka dia pergi untuk menjumpai Tan Siang Djie di tempat tersebut.
Di sana dia
dapat berjumpa dengan saudara tuanya yang masih mondok berkumpul dalam satu
rumah dengan keluarga Liem Tjoe Tien. Rumah tersebut masih ada terletak di Gang
Pinggir Welahan dan rumah itu sampai sekarang dipergunakan tempat buat
menyimpan pusaka kuno “klenteng”sebagai tempat pemujaan dan dihormati oleh
setiap orang Tionghoa yang mempercayainya, setelah beberapa waktu lamanya, Tan
Siang Boe menetap dengan kakaknya di Welahan, maka pada suatu hari pergilah ia
bekerja di lain daerah, sedangkan barang yang berisi pusaka kuno tersebut
dititipkan kepada kakaknya. Mengingat keselamatan akan barang-barang titipan
tersebut maka oleh Tan Siang Djie barang tersebut dititipkan kepada pemilik
rumah Liem Tjoe Tien yang selalu disimpan di atas loteng dari rumah yang
didiami. Pada waktu itu, pada umumnya masih belum mengetahui barang pusaka
apakah gerang yang tersimpan di atas loteng itu. Selama dalam penyimpanan di
atas loteng tersebut setiap tanggal tiga yaitu hari lahir “sha gwe” yakni hari
Imlex Seng Tam Djiet dari Hian Thiam Siang Tee, keluarlah daya ghaib dari
barang pusaka tersebut mengeluarkan cahaya api seperti barang terbakar,
sewaktu-waktu keluarlah ular naga dan kura-kura yang sangat menakjubkan bagi
seisi rumah. Dengan kejadian itu dipanggilah Tan Siang Boe yang semula
menitipkan barang tersebut untuk kembali ke Welahan guna mebuka pusaka yang
tersimpan di dalam kantong tersebut. Setelah dibuka dan diperlihatkan kepada
orang-orang seisi rumah sambil menuturkan tentang asal mula barang tersebut
sehingga ia dapat memiliki pusaka kuno Tiongkok. Dengan adanya asal mula pusaka
tersebut maka orang-orang seisi rumah mempunyai kepercayaan bahwa pusaka kuno
itu adalah wasiat peninggalan dari Paduka Hian Thiam Siang Tee maka dipujanya
menurut adapt leluhur.
Pada suatu
hari Lie Tjoe Tien sakit keras dan penyakitnya dapat disembuhkan kembali dengan
kekuatan ghaib yang ada di pusaka, dengan kejadian itu maka dari percakapan mulut
ke mulut oleh banyak orang sehingga pusaka itu dikenal namanya, dihormati, dan
dipuja-puja oleh orang yang mempercayainya hingga sekarang.
Menurut
keterangan, satu-satunya pusaka Tiongkok yang pertama kali di Indonesia yang
dibawa oleh Tan Siang Boe pusaka tersebut yang tersimpan di Welahan sehingga
ada perkataan lain bahwa keberadaan klenteng di Welahan adalah yang paling tua
di Indonesia.
Pengunjung
Dengan
keberadaan klenteng yang berada di Welahan bukan hanya didominasi keturunan
Tionghoa saja tetapi juga pribumi yang berdatangan dari berbagai kota maupun
propinsi untuk memohon pengobatan, tanya nasib, jodoh, bercocok tanam, serta
mohon maju dalam usahanya, dan sebagainya
d. Peninggalan Budaya di Welahan
KLENTENG WELAHAN
Kelenteng
Hian Thian Siang Tee merupakan kelenteng tertua di Indonesia. Hal ini dapat
diruntut dari sejarahnya di Wikipedia. Sampai di Welahan (pasca banjir) aku
menyusuri jalanan Pasar Welahan untuk menuju kelenteng. Walau aku orang Jepara,
tapi baru kali ini aku mengunjungi kelenteng Hian Thian Siang Tee tersebut.
Sempat beberapa kali tanya orang setempat akhirnya aku sampai juga di kelenteng
Hian Thian Siang Tee.
Kelenteng
ini ternyata sepi, walau hari Imlek tapi tidak begitu ramai. Setelah aku
bertanya ke beberapa orang di dalam kelenteng ternyata acaranya Imleknya sudah
berlangsung malamnya. Aku meminta ijin untuk sekedar mengabadikan beberapa
sudut kelenteng tertua di Indonesia ini. Aroma dupa masih begitu terasa saat
aku memasuki kelenteng ini, sayang aku hanya diperbolehkan mengambil gambar
bagian luarnya saja. Sedangkan bagian dalam yang tertutup oleh tirai tidak
diperkenankan karena privasi.
Welahan
atau Klenteng Hian Thian Siang Tee terletak 24 km ke arah selatan dari
pusat kota Jepara, tepatnya di Desa Welahan, Kecamatan Welahan, Kabupaten
Jepara. Awalnya kienteng tersebut dibangun sebagai tempat penyimpanan pusaka
Thiongkok.
Namun, dalam
perkembangannya kienteng tersebut berubah fungsi menjadi ternpat untuk
sesembahan para dewa dan menyimpan abu dari para leluhur. Kini, kienteng
Hian Thian Siang Tee bukan hanya dikunjungi keturunan Tionghoa saja
melainkan penduduk pribumi berdatangan dari berbagai kota maupun
provinsi.
Objek wisata sejarah ini didukung dengan berbagai prasarana di antaranya akses yang mudah dijangkau oleh kendaraan roda dua maupun roda empat atau angkutan umum, lokasinya pun mudah dicari karena lokasi Klenteng Welahan berdekatan dengan pasar Welahan.
Objek wisata sejarah ini didukung dengan berbagai prasarana di antaranya akses yang mudah dijangkau oleh kendaraan roda dua maupun roda empat atau angkutan umum, lokasinya pun mudah dicari karena lokasi Klenteng Welahan berdekatan dengan pasar Welahan.
e. PERNIKAHAN DALAM TIONGHOA
Pernikahan menurut tradisi Tionghoa
atau masyarakat Cina. Kelahiran,
pernikahan dan kematian itu adalah tiga hal penting dalam kehidupan manusia dan
tentunya dalam budaya Tionghoa juga menjadikan ketiga hal itu amat penting
bahkan sakral. Biasanya diberikan sebuah surat yang diberikan oleh keluarga calon mempelai pria
untuk keluarga calon mempelai wanita untuk memberikan kepastian dan menjamin
pernikahan itu akan dilaksanakan, bukan sekedar main-main.
Kegiatan yang sudah sangat langka dan
berupaya untuk dilestarikan adalah prosesi pernikahan tradisional Tionghoa
peranakan Chio Tau. Chio Tau lahir dari perpaduan antara budaya Tionghoa dan
Betawi yang tampak dari pernak-pernik yang dikenakan oleh pengantin. Kegiatan
ini digelar sebagai bentuk kegiatan CSR Mal Ciputra dalam mengisi perayaan
tahun baru imlek yang dilaksanakan Minggu (5/2/2012) lalu, menarik minat
pengunjung pusat perbelanjaan di Jakarta Barat tersebut. Beragam rangkaian
prosesi yang terdiri dari 13 tahapan harus dilalui oleh pasangan yang
dinikahkan pada hari itu agar resmi menjadi pasangan pengantin Tionghoa.
Prosesi tersebut diantaranya penghormatan kepada Pencipta di meja Sam Kai,
penyisiran rambut yang dilakukan oleh saudara termuda dari pengantin sambil
berteriak “panjang jodoh, panjang umur, panjang rejeki“, pemberian
uang pelita dari orang tua atau yang mewakili, pemakaian baju pengantin, pay
ciu memberikan minum arak kepada pengantin, makan 12 jenis makanan yang
disajikan dalam mangkok sebagai simbol makanan sepanjang tahun, makan nasi
melek yaitu simbol suapan terakhir dari ibu kepada anaknya, pemasangan oto
yaitu kantong kain yang diikat di perut berisi ang pao, buku tong shu dan kue
sebagai simbol orang tua membekali anak perempuannya dengan pengetahuan dan
penganan serta pemasangan kerudung hijau. Lalu ada prosesi sawer, sembayang
kawin di meja pemujaan, soja pengantin, suap-suapan pengantin dan terakhir teh
pay.
Dari beragam kegiatan di atas, dapat disimpulkan bahwa
budaya Tionghoa memberikan akulturasi yang unik dalam memperkaya budaya
Indonesia. Satu harapan semoga ke depannya masyarakat Indonesia pun akan lebih
memahami, mencintai dan menghargai warisan budaya Tionghoa sebagai budaya
negeri sendiri yang turut memperindah taman budaya Indonesia.
f.
TRADISI ANAK ANGKAT DALAM TIONGHOA
Guo Fang/Kwee Pang (Guo Fang Yi Shi) adalah istilah yang sering kita dengar di
kalangan Tionghoa. Tradisi Kwee Pang sebetulnya juga dikenal oleh budaya/agama
lain (dengan istilah atau nama lain), karena pada prinsipnya Kwee Pang adalah
merawat anak orang lain dan diperlakukan bagaikan anak kandung. Anak-anak yang
sakit-sakitan atau mempunyai nasib yang kurang baik biasanya disiasati dengan
melakukan ritual Kwee Pang (diangkat anakkan kepada orang lain). Tapi dalam Agama
Tao sebaiknya anak di Kwee Pang kan kepada Dewa-Dewi. Kenapa bisa ada
permohonan perlindungan kepada para Dewa-Dewi ? Karena
Dewa-Dewi akan lebih bisa melindungi dan menjaga anak tersebut daripada
manusia.
Pada umumnya sistem mengangkat anak kepada Dewa-Dewi
ini hanya berlaku hingga anak berumur 16 tahun atau ketika memasuki usia 21
tahun (bisa juga saat menikah). Selewat itu, anak dianggap berhasil melewati
kondisi bahaya nya dan berhasil selamat memasuki hingga usia dewasa; dan hubungan
itu terputus seketika. Umumnya Kwee Pang dilaksanakan pada saat umur anak masih
dibawah 12 tahun. Ada juga konsep Guo Fang yang tidak mengenal batasan umur;
dimana hubungan anak angkat Dewa akan selamanya terjalin.
Kwee pang atau
mengangkat anak atau meminta anak kita untuk diangkat anak oleh orang lain,
dalam khasanah bahasa Tionghoa amat banyak penyebutannya (istilah); beberapa
diantaranya adalah : Jibai, Guoji, Baiqie, Shouyang, Qiyang, Jifang, Baoyang,
dan Jisi.
Tradisi mengangkat anak atau menyerahkan anak untuk
“diasuh” orang lain memiliki beberapa alasan, diantaranya :
1.
Anak sakit-sakitan atau
mempunyai nasib yang kurang baik.
2.
Anak sulit di ajar/di didik.
3.
Mengharapkan agar anak yang
dipelihara oleh orang lain (terutama oleh mereka yang mampu, berkharisma
atau terpelajar) agar bisa mewarisi kemampuan orang tua angkatnya.
4.
Membantu mereka yang kesulitan
(terutama secara ekonomi) agar anaknya bisa menuntut ilmu/belajar.
5.
Meneruskan marga atau
melanjutkan abu leluhur.
6.
Terlalu
banyak anak
7.
Tidak harmonisnya anak sebagai
microcosmos dengan keluarga sebagai macrocosmos
Dengan adanya empat poin diatas, maka makna dari
penyebutan di atas bisa tidak sama satu sama lainnya. Pada umumnya anak yang
diangkat apabila diangkat/diasuh oleh marga yang berbeda, ada yang berganti
marga dan ada yang tidak berganti marga. Untuk Guofang dan Guoji tidak berganti
marga; tetapi jibai, baiqie, shouyang, dan qiyang bisa berganti marga (ikut
marga orang tua asuh).
Masyarakat di pesisir Fujian dan Guangdong banyak yang
mempercayai bahwa Chen Jinggu atau dikenal juga dengan Lin
Shui Fu Ren adalah Dewi pelindung anak hingga anak memasuki usia
dewasa. Selain itu ada juga Zhusheng
Niang-Niang sebagai Dewi kelahiran dan penjaga anak. Karena itu banyak dihormati
(terutama di Taiwan) oleh para orang tua serta banyak anak-anak
yang sejak kecil meminta perlindungan yang ritualnya memiliki kemiripan dengan
Kwee Pang Dewa-Dewi lainnya.
Contoh misalnya jika anak memiliki jiwa penakut, maka di Kwee Pang kepada Dewa Kwan Kong biar memiliki sifat
keberanian dan sifat tanggung jawab. Jika anak sakit-sakitan maka di Kwee Pang kan kepada Dewa panjang
umur (Shou Xing). Kalau mau anaknya pintar lantas mencari Dewa Wenchang
Dijun dan lain sebagainya. Jadi tujuan Kwee
Pang yang sebenarnya adalah pengharapan agar anaknya kelak bisa menjadi orang yang baik dan sehat
(dicari orang tua angkatnya yakni para Dewa-Dewi untuk melindungi anaknya).
Guo fang atau Kwee pang di
masyarakat Tionghoa Indonesia sering digunakan untuk mereka yang diangkat anak
oleh manusia maupun Dewa-Dewi. Pengangkatan anak kepada Dewa-Dewi tidaklah
selalu harus dilakukan jika anak sakit-sakitan; karena pada umumnya jika anak
sakit maka pihak keluarga akan mengundang tabib/dokter. Jarang terjadi kasus sang anak kemudian tinggal bersama orang tua
angkatnya kecuali sang anak berasal dari keluarga miskin dan kemudian
dititipkan pada keluarga yang lebih kaya.
g. PELAKSANAN PEMBAGIAN WARIS MASYARAKAT TIONGHOA
Dalam melaksanakan pembagian warisan masyarakat Tionghoa dihadapkan dengan dua pilihan hukum yaitu Kitab
Undang-undang Hukum Perdata dan Waris Adat Tionghoa.
Waris Adat Tionghoa adalah waris yang dilaksanakan dalam
kurun waktu yang lama dari sebelum masyarakat Tionghoa menjadi warga negara
Indonesia sampai masyarakat Tionghoa menjadi warga negara Indonesia.
Masyarakat Tionghoa lebih memilih waris adat Tionghoa
daripada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) dikarenakan masyarakat Tionghoa sudah sejak turun-temurun melaksanakan warisan secara adat dan masyarakat Tionghoa
selalu memegang teguh adat istiadat Tionghoa.
Faktor yang menyebabkan penyimpangan dalam pembagian
waris adat Tionghoa adalah dikarenakan terjadinya pembauran atau asimilasi antara budaya Tionghoa dengan
budaya setempat, penyimpangan tersebut adalah perempuan mendapatkan warisan,
Ahli waris perempuan yang mendapatkan
warisan tidak boleh besar dari warisan laki-laki atau biasanya dengan ketentuan
1 / ½.
Oleh sebab itu maka hukum waris adat Tionghoa juga
diakui oleh hukum positif negara Indonesia akibat hukumnya adalah
apabila terjadi suatu sengketa warisan maka yang berperan dalam penyelesaiannya
adalah orang-orang yang di tuakan bisa juga
paman ataupun tokoh masyarakat. Dan perlu
diingat masyarakat Tionghoa sangat tidak
suka apabila penyelasaian sengketa terjadi di pengadilan.
Upaya Hukum yang dilakukan oleh ahli waris adalah apabila terjadi sengketa dalam pembagian warisan, maka
diselesaikan secara kekeluargaan dan apabila tidak dapat diselesaikan dengan
kekeluargaan maka akan diselesaikan di Pengadilan.
Dalam pembagian warisan secara adat Tionghoa, saudara laki-laki bungsu berperan
penting dalam mengurus harta warisan dan harus memberikan contoh terbaik bagi
saudara-saudaranya dan juga harus mengurus abu leluhur.
Apabila terjadi sengketa dalam pembagian warisan secara
adat Tionghoa, maka akan diselesaikan secara
kekeluargaan. Apabila tidak mencapai kesepakatan maka akan ditempuh dengan
jalur hukum atau ke Pengadilan Negeri.
h. BARONGSAI
Barongsai adalah kesenian
peninggalan masyarakat Tionghoa.
Kesenian ini berupa pertunjukan sebuah atraksi dari barongsai yang mana
merupakan sebuah pertunjukan yang diyakini dapat mengusir roh-roh jahat. Hal
tersebut dapat di lihat dari kegiatan warga Tionghoa Jepara Mengadakan Arak Arakan / Karnaval tentunya
yang mengikuti arak-arakan pastilah khusus warga keturunan China. Hal ini diketahui dari sebuah kabar malam di sebuah fanspage
lokal di salah satu kota yang terkenal akan ukiannya yakni kota Jepara karena runtutan CEKBENG ini sudah
sehari sebelumnya.
Foto barongsai
i.
PAMERAN
SENI-BUDAYA TIONGHOA
Ibarat sebuah
taman bunga yang luas dengan aneka bunga yang memiliki beragam pesona dan
keindahannya, Indonesia memiliki beragam budaya dengan pesona dan keunikan
tersendiri yang memperkaya budaya Indonesia. Salah satu kembang dari taman
Indonesia adalah budaya Tionghoa yang belum terlalu populer di masyarakat kita.
Hal ini dikarenakan pengenalannya terhambat dan berbagai kegiatannya sempat
dilarang oleh pemerintah Indonesia di masa orde lama pun orde baru. Pada masa
pemerintahan Gus Dur, beliau mengeluarkan kebijakan mencabut Inpres No 14/1967
dengan mengeluarkan Kepres No 19/2001 yang memberikan kebebasan kepada keturunan
Tionghoa untuk mengadakan kegiatan budayanya. Salah satu kegiatan pengenalan
budaya Tionghoa adalah melalui Pameran Budaya dan Karya Seni Peranakan Tionghoa
Indonesia yang diprakarsai oleh Komunitas Lintas Budaya Indonesia bekerja sama
dengan Kompas Gramedia yang diadakan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) Palmerah
pada 6 - 12 Pebruari 2012.
Apa Itu Tionghoa
Peranakan?
Tak adanya
perempuan Tionghoa totok untuk dinikahi membuat orang Tionghoa mengambil
perempuan pribumi sebagai istri. Di Indonesia, setelah peristiwa penumpasan orang Tionghoa di Batavia
tahun 1740, orang Tionghoa mempunyai kecenderungan untuk melebur ke dalam
masyarakat pribumi. Keturunan yang lahir dari perpaduan Tionghoa totok dan
pribumi inilah yang kemudian disebut sebagai Tionghoa peranakan Indonesia.
Onghokham dalam
bukunya Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa menyebutkan yang dimaksud
sebagai kaum Tionghoa peranakan
adalah mereka yang secara kebudayaan mempunyai budaya akulturasi antara budaya
Tionghoa, lokal (Melayu, Sunda atau Jawa) dan Eropa (terutama Belanda). Dalam
kehidupan sehari-hari mereka tidak bisa berbahasa Tionghoa melainkan berbahasa
Melayu/Indonesia dan/atau bahasa daerah Indonesia lainnya sebagai bahasa ibu.
Bahkan di masa lalu banyak warga Tionghoa peranakan yang fasih berbahasa
Belanda dalam kehidupan sehari-hari.
j. WAYANG POTEHI
Potehi berasal dari kata poo (kain), tay (kantong), dan hie (wayang), secara harfiah wayang potehi dikenal sebagai wayang
berbentuk kantong kain. Orang yang berperan sebagai dalang memainkannya dengan memasukkan tangan mereka ke dalam
kain tersebut. Wayang ini dimainkan menggunakan
kelima jari tangan. Tiga jari tengah (telunjuk, jari tengah, dan jari manis)
berfungsi mengendalikan bagian kepala wayang, lalu ibu jari dan jari kelingking
berperan menggerakkan bagian tangan wayang.
Wayang ini merupakan salah satu jenis wayang khas Tionghoa yang berasal dari Cina bagian selatan. Menurut sejarah, diperkirakan jenis kesenian ini sudah
ada pada masa Dinasti Jin (265 – 420 Masehi) dan berkembang pada Dinasti Song
(960-1279). Wayang potehi bisa sampai ke Indonesia melalui orang-orang Tionghoa
yang datang sekitar abad ke-16.
Saat masuk pertama kali di Indonesia, wayang potehi dimainkan dalam
Bahasa Hokkian, namun seiring
berkembangnya waktu, Bahasa dan latar cerita yang disuguhkan pun menyatu dengan
budaya Indonesia. Kini, banyak dalang wayang potehi yang bukan dari peranakan Tionghoa,
tetapi dari suku lain seperti suku Jawa.
Salah satu penggiat kesenian wayang potehi yang
berasal dari suku jawa yakni Dwi Woro
Retno Mastuti. Akademisi Universitas Indonesia ini mengangkat potehi sebagai bahan penelitiannya, ia mengajak mahasiswa-mahasiswanya
untuk ikut memainkan wayang yang hampir punah ini. Ibu Woro, sapaan
akrabnya, selalu mengajak mahasiswanya untuk mengikuti acara-acara yang
menghadirkan wayang potehi. Mereka ditugaskan memainkan wayang tersebut sebagai dalang.
Bagi Ibu Woro wayang potehi sudah
bukan milik orang tionghoa saja, namun sudah menjadi kesenian peranakan milik Indonesia. “Ini punya Indonesia, siapapun berhak untuk
mengembangkan. Siapapun punya kesempatan untuk
melestarikannya, bagi yang punya passion disini, mari sama-sama kita kembangkan
wayang potehi,” ujarnya.
Bukan sekadar seni pertunjukan, wayang potehi bagi etnik
Tionghoa memiliki fungsi sosial serta ritual. Tidak berbeda dengan wayang-wayang lain di
Indonesia, beberapa lakon yang sering dibawakan dalam wayang potehi adalah Si Jin Kui (Ceng Tang dan Ceng Se), Hong Kiam Chun
Chiu, Cu Hun Cau Kok, Lo Thong Sau Pak, dan Pnui Si Giok. Setiap wayang bisa
dimainkan untuk berbagai karakter, kecuali Koan Kong,
Utti Kiong, dan Thia Kau Kim—yang warna mukanya tidak bisa berubah.
Sebuah bentuk tindakan nyata dalam
melestarikan kesenian budaya peninggalan leluhur yang hampir punah. Semoga tindakan yang dilakukan Ibu Woro
bisa menginspirasi generasi muda untuk tidak meninggalkan
budaya dan kesenian bangsa.
WARISAN BUDAYA BERUPA TEMPAT SEMBAHYANG BAGI
ORANG-ORANG TIONGHOA
BAB
V
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Masyarakat Tionghoa merupakan masyarakat
yang mayoritas penduduknya mempunyai garis keturunan China. Karena mereka
bertempat tinggal di wilayah Indonesia dan menikah dengan penduduk asli
Indonesia, maka keturunan mereka disebut dengan peranakan tionghoa Indonesia.
Masyarakat tionghoa mempunyai warisan kebudayaan dari leluhur mereka,
diantaranya tradisi anak angkat dalam Tionghoa (kwee pang), adat penikahan masyarakat tionghoa, pameran
seni dan budaya, dan lain sebagainya. Beragam kebudayaan yang ditinggalkan oleh
leluhur masyarakat Tionghoa telah memberikan warna tersendiri pada kebudayaan
yang ada di wilayah Indonesia. Kebudayaan Tionghoa bisa dikatakan salah satu
kebuyaan milik Indonesia, kaena
banyaknya penduduk asli atau keturunan Tionghoa yang tinggal di wilayah
Indonesia. Oleh karena itu, sebagai masyarakat Indonesia hendaknya mengetahui
apa saja kebudayaan tionghoa dan kebudayaan apa saja yang dimiliki Indonesia,
dan masyarakat juga mau ikut berpartisapi dalam melestarikan budaya yang ada di
Indonesia ini agar tetap menjadi warisan budaya yang luhur dan berbudi.
B.
SARAN
Sebaiknya sebagai penduduk asli
Indonesia, hendaknya mengetahui dan sering mempelajari berbagai macam
kebudayaan yang ada di Indonesia dan kita sebagai kaula muda hendaknya ikut
aktif dalam kegiatan pelestarian budaya yang ada di Indonesia. Jangan malu melestarikan budaya kita sendiri,
karena budaya Indonesia itu budaya yang luhur dan berbudi.
DAFTAR PUSTAKA
Hermaki. 2006. Unsur Budaya Cina.
Semarang: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Musium Jateng Ronggowarsito
Suryadinata, Leo. 2002. Negara dan Etnis
Tionghoa. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia
Zein, Abdul Baqir. 1999. Etnis Cina.
Jakarta: PT. PRESTASI INSAN INDONESIA
Sutrisno, Mudji. 2009. Teori-teori
Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius
Aizid, Rizem. 2013. REZIM MAO.
Jogjakarta: Palapa
Wicaksono, Michael. 2013. QIN. Jakarta:
PT Elex Media Komputindo
Sumber http://www.aspertina.org/artikel/catatan-publik/2015/04/13/kesenian-potehi-yang-hampir-punah/
pukul 10.42
Sumber: sosbud.kompasiana.com/2012/02/12/warisan-budaya-tionghoa-tak-hanya-barongsai-dan-liong-434897.html
pukul 10.32
Sumber http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/1925-kwee-pang-1-sebab-tradisi-mengangkat-anak
pukul 10.26/ 19/04/2015 posting pada 28 april 2012
Sumber http://www.tionghoa.info/kwee-pang-upacara-pengakuan-anak-angkat-dewa/
pukul 10.24 2015 tanggal 19 April 2015. Posting pada 27 Oktober 2014
LAMPIRAN
Kelenteng
Welahan, yaitu klenteng “Hian Thian
Siang Tee” merupakan salah satu klenteng tertua di
Indonesia, yang sering di kunjungi oleh masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Barongsai
di Welahan kesienian
Liong
Arak-arakan cekbeng di
welahan
Wayang potehi Tionghoa
Ibu Roro salah
seorang dalang wayang potehi
Adat
pakaian pernikahan dalam tradisi Tionghoa-betawi
Pameran
budaya
Monumen
perjuangan Tionghoa
Pameran
kesenian Tionghoa
Langganan:
Postingan (Atom)