Kamis, 21 Mei 2015

Kebudayaan Masyarakat Tionghoa Indonesia

HUKUM ADAT
Dosen Pengampu: Natal Kristiyono, S.Pd, M.H
LAPORAN HASIL PENELITIAN
KEBUDAYAAN MASYARAKAT TIONGHOA INDONESIA


Disusun Oleh:
Nama: Juranti
NIM: 3301414092



PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
JURUSAN POLITIK DAN KEWARGANEGARAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat serta ridho-Nya penulis dapat mengerjakan dan menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Kebudayaan Masyarakat Tionghoa” ini dengan baik dan lancar. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah HUKUM ADAT, program studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, jurusan Politik dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Semarang.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, terlebih terima kasih  kepada para informan atau orang –orang yang telah merelakan waktunya untuk memberikan banyak informasi kepada penulis, dan juga khususnya kepada dosen pengampu mata kuliah HUKUM ADAT, yaitu Bapak Natal Kristiyono  yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada penulis, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan lancar.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang penulis miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Harapan penulis dari pembuatan makalah ini yaitu semoga apa yang telah disusun ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca, sehingga dapat membantu belajar mengenai materi yang dibahas ini.


Semarang, 24 April 2015


Penulis

DAFTAR ISI

                                                                                                                                                   Halaman
HALAMAN JUDUL..................................................................................................   1
KATA PENGANTAR.................................................................................................. 2
DAFTAR ISI.............................................................................................................. 3
I.        PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang............................................................................................. 5
B.      Perumusan Masalah.................................................................................... 8
C.      Tujuan........................................................................................................ 9
D.      Kontribusi Penelitian................................................................................... 9

II.      TINJAUAN PUSTAKA
A.      Tinjauan Pustaka....................................................................................... 10
1.       Definisi kebudayaan.................................................................... .         10
2.       Pengertian kebudayaan Tionghoa........................................................ 11

III.    METODOLOGI PENELITIAN
A.      Lokasi dan Waktu Penelitian....................................................................... 12
B.      Metode Dasar Penelitian........................................................................... 12
C.      Data.......................................................................................................... 12
D.      Alat Penelitian........................................................................................... 13
E.       Langkah-Langkah Penelitian....................................................................... 13

IV.    PEMBAHASAN
A.   Hasil Penelitian............................................................................................... 14
B.    Pembahasan.................................................................................................... 18
a.    Sejarah masuknya kebudayaan Tionghoa di Indonesia.............................. 18
b.    Karakteristik budaya Tionghoa di Indonesia............................................... 19
c.     Sejarah kota welahan.................................................................................. 21
d.    Peninggalan budaya tinghoa di welahan.................................................... 23
e.    Pernikahan dalam tradisi Tionghoa............................................................. 24
f.     Tradisi kwee pang (anak angkat)................................................................. 25
g.    Pelaksanaan pembagian waris dalam adat Tionghoa................................. 27
h.    Budaya barongshai....................................................................................... 28
i.      Pameran seni dan budaya Tionghoa ........................................................... 29
j.      Wayang potehi.............................................................................................. 32





V.      PENUTUP
A.      SIMPULAN........................................................................................................ 35
B.      SARAN.............................................................................................................. 35
VI.    DAFTAR PUSTAKA................................................................................. ........... 36
LAMPIRAN............................................................................................................ . 37




















BAB I
PENDAHULUAN

A.       LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan sebuah negara yang kaya akan warisan budaya di dalamnya. Salah satu diantaranya adalah warisan dari kebudayaan masyarakat Tionghoa. Di Indonesia banyak  penduduk yang berkebangsaan Tionghoa, jadi disini budaya Tionghoa juga sangat mewarnai kebudayaan yang ada di Indonesia ini. Oleh karena itu kebudayaan Tionghoa perlu di lestarikan sehingga masyarakat tahu dan tidak lupa akan warisan budaya yang ada di Indonesia.
Seiring berkembangnya zaman, masyarakat Indonesia sepertinya mulai menipis akan pengetahuan budaya yang ada di Indonesia. Hal tersebut diakibatkan oleh pesatnya arus globalisasi, yangmana ditandai dengan banyaknya teknologi modern sekarang ini yang beredar di kalangan masyarakat. Perkembangan teknologi tersebut mengakibatkan lunturnya warisan budaya  di masyarakat.
Dengan adanya peristiwa tersebut, penulis tergugah hati dan jiwanya untuk melakukan penelitian tentang Kebudayaan Masyarakat Tionghoa di Indonesia. Menurut Selosoemaradjan, Kebudayaan merupakan hasil karya, rasa, dan cipta suatu masyarakat. Kebudayaan tersebut disampaikan kepada masyarakat dari generasi ke generasi, agar supaya masyarakat tidak melupakan kebudayaan yang telah ada dan dapat melestarikan budaya tersebut dari waktu ke waktu.
Orang Tionghoa adalah salah satu bagian kemajemukan dari Indonesia walaupun mereka seorang imigran dari Cina yang kemudian menetap dan beralih status menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Para imigran Tionghoa ini memiliki karakteristik dan kebudayaan mereka sendiri yang dibawanya dari daerah asal. Kepandaian berdagang dari suku bangsa Hokkien masih nampak terlihat begitu jelas di masa sekarang ini. Orang Hokkien dan keturunannya  banyak sekali yang berasimilasi, paling banyak di daerah Indonesia Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Pantai Barat Sumatera.
Dalam pra modern Cina, sebagian besar orang-orang yang memegang kepercayaan dan praktek-praktek diamati terkait dengan kematian yang mereka pelajari sebagai anggota keluarga dan desa-desa, bukan sebagai anggota agama-agama terorganisir. Kepercayaan dan praktek-praktek semacam itu sering dimasukkan di bawah payung “agama rakyat Cina.” Kelembagaan bentuk Buddhisme, Konfusianisme, Taoisme, dan tradisi-tradisi lain menyumbang banyak keyakinan dan praktik agama populer dalam varian lokal. Hadis-hadis ini, terutama Buddhisme, termasuk ide budidaya pribadi untuk tujuan hidup dan kehidupan yang ideal, sebagai akibatnya, semacam mencapai keselamatan akhirat, seperti keabadian, pencerahan, atau kelahiran di alam surgawi. Namun, keselamatan pribadi memainkan peran kecil dalam agama yang paling populer. Dalam varian lokal khas agama rakyat, penekanan adalah pada (1) berpindah dari dunia ini menjadi wilayah leluhur bahwa dalam cara kunci mencerminkan dunia ini dan (2) interaksi antara orang-orang yang hidup dan nenek moyang mereka.
Agama Cina belum ditandai sebagai yang terorganisasi atau sistem terpadu praktik dan kepercayaan. Sebaliknya telah ditandai sebagai pliralistik sejak awl peradaban Cina tiga ribu tahun yang lali. Istilah agama di Cina digunakan untuk menggambrkan hubungan yang rumit dari berbagai agama dan tradisi filsafat di negeri ini.
Agama Cina terutama  terdiri  dari  tiga  tradisi  utama : Buddhisme, Taoisme dan Konfusianisme, walaupun yang terakhir ini adalah sekolah filsafat dan bukan agama. Banyak sarjana termasuk empat tradisi, agama rakyat Cina. Prespektif keagamaan  mayoritas  penduduk Cina adalah  campuran  dari  kepercayaan dan praktek dari  tradisi  keempat. Ini  bukan  praktik  umum kecuali hanya satu agama yang lain, bahkan ketika mereka sering mengandung unsur-unsur yang saling bertentangan.
Jumlah  orang  yang mengikuti ajaran Budha lebih dari 1 miliyar  (80%) dan Taoisme 400 juta (30%). Perhatikan bahwa banyak orang Cina menganggap diri mereka  baik  Budha dan  Tao. Agama-agama  lain juga telah hadir dalam jumlah kecil di Cina selama beberapa abad, seperti Kristen dengan sekitar 50 juta (4%), Islam dengan 20 juta (1,5%), Hindu, Dongbaism, dan  Bon. Ada  juga agama-agama modern lainnya  yang  meningkatkan  jumlah  pengikut  mereka di negeri ini seperti Xiantianism dan Falun Gong.

https://encrypted-tbn0.google.com/images?q=tbn:ANd9GcStMUH38DJUJnkChWpMzQzFB8tt3eCS18PFJpeO1RkyI_UXuy93Mg

Beberapa  dari agama-agama Cina berasal dari  negara sendiri (Taoisme, Koghucu). Tetapi yang lain yang di datangkan  dari bagian-bagian lain dunia (Budhaisme dari India, kekristenan dari  Barat). Pada umumnya, orang  Cina dapat dengan mudah menyerap apa yang tidak  menjadi  tradisi  dasar  mereka,  tapi itu tidak sama.  Jika ini dipaksakan, seperti yang terjadi selama mongol atau  invasi  Manchu. Upaya-upaya religius mereka  memberi  lebih percaya diri untuk orang Cina berdasarkan keunggulan keyakinan mereka.
Meskipun  jumlah besar nominal pengikut agama-agama Cina dan bahwa bagian  terbesar  orang  mengatakan  bahwa  mereka  percaya  pada Tuhan, takdir, nasib, keberuntungan dan akhirat, penduduk Cina tidak memiliki kecenderungan keagamaan yang kuat. Kecenderungan  ini telah sangat meningkat sejak Partai Komunis  mengambil  kekuasaan  di  tahun 1949. Pemerintah  dianjurkan praktik agama  selama  puluhan  tahun  dan  selama Revolusi Kebudayaan, penganiayaan agama yang ekstensif  dilakukan, ratusan greja dan kuil-kuil yang hancur.
Namun, banyak orang  Cina terus  mempraktikkan  keyakinan agama mereka, meskipun  risiko  pribadi  yang  tinggi. Periode liberalisasi berikut diizinkan bahwa agama tidak lagi dilarang pada tahun 1982, konstitusi ini dimodifikasi untuk mentoleransi  kebebasan  beragama,  namun  Pemerintah  Cina terus  menjadi  “ateis” dan  hari  ini, banyak candi yang masih dianggap hanya “peninggalan budaya”.



Masyarakat Tionghoa Indonesia adalah bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara secara utuh. Satu dari sekian banyak ragam etnis yang menjadi corak identitas sosial Nusantara. Masyarakat Tionghoa memiliki banyak sekali warisan budaya  yang  ikut  mewarnai  keberagaman budaya yang ada di Indonesia.  Contoh dari  warisan  budaya  dari Tionghoa antara lain yaitu Barongsai, Liong, Wayang Potehi, Chiau Thao, Tradisi Kwee Pang, Pameran Budaya dan Seni Peranakan Tionghoa. Semua warisan budaya tersebut merupakan hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat Tionghoa yang perlu dijaga kelestariannya oleh masyarakat Indonesia.
Tradisi  Kwee Pang  atau  anak  angkat  dewa, dimana  tradisi  itu dilakukan bagi anak yang baru lahir yang kemudian dibawa ke klenteng untuk di mintakan perlindungan kepada dewa selama hidupnya dan supaya dewa membersihkan dirinya dari segala sesuatu yang jahat bagi dirinya dan dapat dijauhkan dari sesuatu yang jahat tersebut.
Pagelaran serangkaian acara kebudayaan biasanya dilakukan dalam waktu-waktu tertentu saja, misalnya Barongsai dan Wayang Potehi biasa di gelar atau di pertunjukkan secara besar-besaran ketika perayaan tahun baru Imlek. Pameran Budaya dan Seni Peranakan Tionghoa juga biasa digelar pada  event-event besar tertentu yang diadakan oleh pihak yang ingin mengadakan pameran tersebut. Begitu juga budaya Tionghoa lainnya.
Pada bagian pembahasan makalah ini akan dibahas lebh lanjut mengenai budaya-budaya yang ada dalam masyarakat Indonesia. Berikut adalah hal-hal yang akan di ulas dalam pembahasan makalah ini:

B.       RUMUSAN MASALAH
1.      Apa saja kebudayaan Tionghoa yang ada di Indonesia?
2.      Bagaimana penjelasan yang terkait dengan kebudayaan masyarakat Tionghoa itu?





C.       TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Menyelesaikan tugas mata kuliah Hukum Adat
2.      Mencari tahu tentang warisan budaya yang ada di Indonesia
3.      Mengetahui apa saja dan bagaimana kebudayaan masyarakat Tionghoa
4.      Menambah pengetahuan penulis akan berbagai macam warisan budaya yang mewarnai Indonesia
5.      Melestarikan warisan budaya dari leluhur bangsa Indonesia

D.       KONTRIBUSI PENELITIAN
Dalam melakukan penelitian ini, penulis mencari informasi dari daerah sekitar dimana penulis berasal dan berdomisli tetap disana. Penulis melaksanakan observasi tentang Kebudayaan Masyarakat Tionghoa di desa Welahan, kecamatan Welahan, kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah. Penelitian dilaksanakan pada hari Sabtu, tanggal 2 Mei 2015. Penulis berkesempatan untuk mewawancarai salah satu warga keturunan Tionghoa di daerah tersebut. Narasumber tersebut adalah Cici salah seorang penjual bahan-bahan adonan kue yang ada di sekitar pasar Welahan. Dan juga teman SMP dari penulis sendiri yang bernama Erica. Selain itu, penulis juga melakukan wawancara dengan  narasumber  lainnya, yaitu seorang mahasiswa keturunan Tionghoa bernama Saiful Mustofa Lie. Dia mahasiswa semester empat (4) jurusan bahasa Mandarin di kampus Universitas Negeri Semarang ini. Saya mewawancarai koh Lie pada hari Rabu, tanggal 29 April 2015 mulai pukul 17.00 sampai dengan pukul 19.30.  
Oleh karena itu dapat di tarik kesimpulan bahwa kontribusi dari penelitian yang di lakukan oleh penyusun makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Melatih softskill mahasiswa dalam berinteraksi dengan masyarakat di luar kampus
2.    Membentuk kepribadian mahasiswa yang peduli sosial
3.    Mengetahui berbagai macam warisan budaya yang ada di Indonesia
4.    Memahami warisan budaya Tionghoa yang ada di Indonesia
5.    Menjadikan mahasiswa berpikir kritis mengenai warisan budaya
6.    Berkontribusi dalam melestarikan warisan budaya yang ada di Indonesia

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    DEFINISI KEBUDAYAAN
Pengertian  budaya/culture  menurut  Sir Edward Burnett Tylor, seorang antropolog  Inggris, dalam bukunya "Primitive Culture" , 1871, mengatakan bahwa budaya adalah "keseluruhan yang kompleks dari cakupan pengetahuan, kepercayaan , seni, moral, hukum, adat- istiadat, dan termasuk kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh setiap orang sebagai anggota masyarakat."
Pandangan ini memiliki pengaruh yang besar sekali yang dibidang  riset / penelitian  mengenai  histori  budaya.  Yang mana  sampai sekarang  bisa dijadikan acuan dan bahan pertimbangan kita mengenai pengenalan budaya. Kemudian  hari, orang-orang  masing-masing memberikan pengertiannya sendiri mengenai arti budaya ini, diantaranya mungkin lebih condong kearah historis, ataupun  lebih  condong kearah normatif, atau psikologis, maupun bersifat warisan, dan sebagainya.
Tidak  perduli  ada  berapa  macam  pengertian “budaya” tersebut, tapi ada satu hal yang paling utama, yakni inti daripada budaya adalah manusia. Adanya manusia baru menciptakan budaya.  Budaya adalah manifestasi dari daya cipta kecerdasan umat manusia. Cheng Yuzhen dalam bukunya “ Garis Besar Budaya Tionghoa, 1997 mengatakan "masing-masing  suku bangsa menciptakan budaya yang  berbeda dengan suku bangsa lainnya. manusia menciptakan budaya, dan juga menikmati  hasil dari budaya, pada saat itu pula terikat oleh budaya,dan akhirnya  juga  harus  terus  memperbaharui  budaya  tersebut. Kita semua adalah pencipta  budaya,  sekaligus  menikmati  dan  pengubah  budaya  tersebut. Manusia  walaupun  terikat oleh budaya , namun manusia selamanya aktif berkutat dalam budaya. Ketiadaan  manusia untuk aktif di dalam penciptaan budaya,  maka  budaya  itu sendiri akan kehilangan kecemerlangannya, kehilangan  daya  hidupnya / vitalitasnya,  dan  akhirnya akan lenyap dan punah. Kita  memahami  dan  mempelajari  budaya,  sebenarnya adalah  mempelajari dan menyelidiki pikiran kreativitas , perilaku kreativitas , jiwa kreativitas, cara kreativitas manusia dan hasil kreativitas yang diciptakan oleh manusia.


B.     PENGERTIAN  KEBUDAYAAN TIONGHOA
Kebudayaan Tionghoa adalah maha karya orang Tionghoa dalam sejarah perkembangannya yang sangat panjang,dan merupakan kristalisasi kecerdasan serta daya cipta orang Tionghoa.

Dalam sejarah selama ribuan tahun, budaya Tionghoa selalu bersinar, dan memiliki pengaruh yang luar biasa bagi orang-orang Tionghoa baik masa lalu maupun  sekarang. Disamping itu, dengan setelah adanya 'jalur sutera', pada jaman dinasti Han, budaya  tionghoa juga menyumbang dan berpengaruh terhadap sejarah dan kebudayaan barat. Apalagi sekarang, dalam era modern ini,dimana komunikasi  secara  global  tidak  menemui halangan,maka penyebarannya sangat luar biasa cepat, dan pengaruhnya juga semakin luas bagi dunia. Sekarang,orang-orang dari belahan dunia lain semakin tertarik kepada Budaya Tionghoa, misalnya untuk mempelajari Bahasa Mandarin,dimana-mana orang-orang yang berminat belajar  Bahasa Mandarin semakin hari semakin banyak. Sekolah,kursus,kelas untuk  belajar  Bahasa  Mandarin yang semakin banyak dibuka.ini adalah salah satu contoh dari segi bahasa,belum lagi masakan,seni pertunjukan, karya sastra seperti buku seni perang Sun zi / Sunzi Bingfa ,kisah tiga kerajaan / san guo yanyi, sangat digemari oleh orang-orang.









BAB III
METODE PENELITIAN
A.    Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan  di daerah  asal peneliti, yaitu desa Welahan, Kecamatan Welahan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Penelitian ini dilaksanakan tiga kali, yaitu pada akhir pekan minggu ke dua, minggu ke tiga, dan minggu ke empat pada bulan April 2015.
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja dengan kriteria yaitu, (1) desa Welahan merupakan daerah di Kabupaten Jepara yang memiliki klentheng (tempat sembahyang orang-orang Tionghoa)  tertua di Indonesia yang mana di daerah tersebut banyak penduduk Tionghoa yang bertempat tinggal disana, (2) pada  areal tersebut masyarakat Tionghoa masih melakukan kebiasaan-kebiasaan/adat Tionghoa seperti pameran kesenian, budaya dan lain-lain.

B.     Metode Dasar Penelitian :
Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah Diskriptif analisis dengan pendekatan survey dan pendekatan . Obyek penelitian yang dilakukan oleh penyusun adalah sekumpulan orang-orang atau penduduk Tionghoa yang bertempat tinggal di wilayah Welahan,kabupaten Jepara  Jawa Tengah dan juga mahasiswa keturunan tionghoa yang ada di sekitar lingkungan kampus UNNES.

C.    Data
Data yang digunakan oleh peneliti untuk penelitian di wilayah tersebut adalah Data Primer. Data primer diperoleh langsung dari wawancara dan juga pengamatan kepada responden : masyarakat Tionghoa yang bertempat tinggal di sekitar klentheng, pengurus klenteng, dan juga masyarakat non-Tionghoa yang tinggal di sekitar wilayah desa Welahan tersebut serta mahasiswa keturunan Tionghoa yang berada di sekitar kampus UNNES Sekaran Gunungpati Semarang.




D.  Alat Penelitian : alat tulis, kamera, perekam suara, dan alat untuk mengolah data menjadi makalah yang baik dan benar adalah komputer.


E.  Langkah-langkah Penelitian :
Dalam melaksanakan penelitian tentang kebudayaan masyarakat tionghoa ini, penyusun  berkunjung ke desa Welahan, kabupaten Jepara, dimana lokasi tersebut dekat dengan daerah tempat tinggal peneliti. Peneliti datang ke lokasi penelitian dengan membawa peralatan seperti alat tulis, kamera, maupun perekam suara. Peneliti kemudian melakukan penelitian di lokasi klentheng dan sekitarnya. Selain di desa Welahan tersebut yang terkenal dengan sebutan salah satu desa Pecinan di Jepara, penyusun juga melakukan penelitian ini di kawasan kampus UNNES Sekaran. Penyusun mewawancarai salah seorang mahasiswa dari fakultas bahasa dan seni UNNES jurusan bahasa Mandarin. Peneliti melakukan wawancara dengan  narasumber guna memperoleh data/infomasi dari penduduk tioghoa maupun masyarakat biasa disekitar wilayah tersebut. Peneliti mencatatat informasi dari narasumber tersebut. Peneliti kemudian melakukan pengamatan di sekitar area penelitian. Peneliti juga mengambil gambar-gambar dengat peralatan kamera yang telah dibawanya tersebut.










BAB IV
PEMBAHASAN

A.       HASIL PENELITIAN
Kebudayaan China atau biasa dikenal juga dengan sebutan kebudayaan Tionghoa adalah warisan budaya dari leluhur bangsa Tionghoa yangmana warisan budaya tersebut berasal dan berpusat dari negara China. Banyak sekali kebudayaan atau tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa, antara lain tradisi Pernikahan, tradisi anak angkat, berbagai macam kesenian sampai dengan kebiasaann  minum teh yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa.
Menurut narasumber, yaitu mahasiswa jurusan bahasa Mandarin Unnes Sekaran , Saiful Mustofa Lie, salah seorang mahasiswa yang mempunyai garis keturunan Tionghoa. Koh Lie, berasal dari kota Pati Jawa Tengah.  Menurutnya, kebudayaan china memang sangat beragam dan memberi warna tersendiri bagi kebudayaan yang ada di wilayah negara Indonesia. Masyarakat Tionghoa yang ada di Indonesia berasal dari suku-suku yang berbeda. Diantaranya yaitu suku Han. Suku Han adalah suku mayoritas yang ada di Indonesia, sedangkan suku minoritasnya adala suku Kongfu, Sing Cyang, Tinglet dan lain sebagainya.  Menurutnya kebanyakan masyarakat Tionghoa berada di wilayah kepulauan Sumatera dan Kalimantan. Di daerah Singkawang, sebanyak 98%  merupakan penduduk asli maupun keturunan Tionghoa. Keturunan Tionghoa yang ada di Indonesia mempunyai dua sebutan yaitu  China Totok dan China Peranakan. Menurut koh Lie, china Totok adalah orang china ataupn keturunannya yang tidak mengetahui sama sekali adat ataupun tradisi masyarakat Tionghoa dan jga tidak mengerti bahasa asli Tionghoa/China yang sebenarnya. Sedangkan china peranakan  adalah hasil keturunan dari perkawinan antara orang china asli dengan penduduk pribumi yang ada di wilayah Indonesia, dimana mereka malah mengerti, tahu  akan tradisi/adat dan juga bahasa yang biasa di lakukan dan digunakan oleh masyarakat Tionghoa pada umumnya.
Menurut Lie, jika terjadi perkawinan antara orang china atau keturunannya dengan orang pribumi misalnya orang Jawa, maka orang ketuunan Tionghoa tersebut di coret dari keluarga dan marganya serta mereka juga tidak berhak atas warisan oang tua mereka. Keturunannya pun  tidak berhak atas marga yang pernah dimiliki oleh salah satu orang tuanya yang pada saat itu  mendapatkan  tambahan nama marga dibelakang namanya dari keluarga. Pada zaman rezim Soeharto, keturunan Tionghoa tidak boleh dicantumkan nama marga di nama bagian belakang si anak. Akan tetapi setelah Soeharto lengser, kemudian digantikan oleh Brigjen Haibie, yang  kemudian berganti  kekuasaan  dimana kekuasaan tersebut ada di tangan Abdurrakhman Wahid (Gusdur),  peraturan lama dicabut dan akhirnya diberlakukannya kembali aturan untuk masyarakat Tionghoa, mereka bebas untuk menyelenggarakan kebiasaan mereka dan mereka boleh menggunakan nama marga mereka kembali pada nama belakang yang dimliknya.  Jika keturuannya tersebut laki-laki dan merupakan anak pertama laki-laki dari pernikahan tionghoa-pribumi tadi, dan anak laki-laki tersebut menginginkan marganya kembali dia harus menikah dengan orang keturunan China terlebih dahulu. Dengan begitu dia berhak atas nama marga yang pernah dimiliki oleh salah satu orang tuanya. Mengenai perkawinan masyarakat Tionghoa, untuk adat yang dipakai dalam suatu upacara adat perkawinan biasanya karena kesepakatan dari kedua belah pihak keluarga, yaitu kesepakatan dari pihak laki-laki dan pihak perempuan. Akan tetapi, yang memiliki keturunan Tionghoa biasanya tidak mau  mengalah, mereka tetap mengusahakan ada adat tionghoa didalamnya walau tidak mendominasi.  
Dalam membahas pernikahan tidak akan lepas dari pembicaraan mengenai anak. Dalam kebudayaan Tionghoa terdapat tradisi Kwee Pang atau anak angkat. Kwee pang meupakan sebuah tradisi atau kebiasaan dimana seorang bayi yang baru  lahir dari pernikahan keturunan Tionghoa harus dibawa ke Klenteng untuk di bersihkan disana. Tujuan dari Kwee Pang atau anak angkat ini adalah agar anak yang baru lahir ini menjadi anak yang bersih pengaruh roh-roh jahat, bersih dai segalanya dan agar anak tersebut selalu dilindungi oleh Dewa selama hidupnya.
Di lingkungan orang China sebuah kelarga memiliki banyak anak atau keturnan itu adalah salah hal yang wajar. Bagi mereka anak adalah titipan dewa yang harus dijaga dan dirawatnya hingga dewasa dan menikah membentk keluarga baru sendiri. Di China, orang yang memiliki banyak anak jutru malah mendapatkan penghargaan dari pemerintah China sana.
Kebudayaan yang sifatnya berupa kesenian dari Tionghoa ragamnya sangat banyak sekali, seperti Barongsai. Barongsai filosofinya itu katanya terdiri atau terbentuk dari gabungan 9 (sembilan) hewan, dimana barongsai itu di selenggarakan guna untuk mengusir roh-roh jahat atau setan-setan yang bermaksud untuk menjerumuskan manusia atau masyarakat ke arah yang buruk. Selain itu, ada juga kesenian Wayang Potehi, menurutnya wayang potehi adalah sebuah pentas permainan dengan menggunakan alat bantu berupa boneka atau wayang yanb biasanya dimainkan sebuah cerita mengenai sejarah masyarakat tionghoa pada zaman dahulu, tentang dewa-dewa yang di percayai oleh orang-orang Tionghoa  dan  juga  kisah  3 (tiga)  negara yang ada di dunia semesta ini. Pameran kesenian lainnya, yaitu  pameran seni dan budaya Tionghoa yang di gelar ketika ada peristiwa-peristiwa besar. Biasanya pameran itu berupa pameran benda-benda khas peninggalan masyarakat Cina seperti keramik, guci, maupun benda-benda lain yang mempunyai nilai sejarah bagi masyarakat Tionghoa. Pameran tersebut di gelar untuk umum, sehingga masyarakat umum pun di bolehkan untuk menikmati juga acara pameran tersebut.
Masyarakat Cina atau masyarakat Tionghoa pada umumnya sangat  menyukai warna merah dan juga warna kuning. Mengapa demikian? Alasannya yaitu karena menurut kepercayaan mereka ( masyarakat Cina/masyarakat Tionghoa) warna-warna tersebut melambangkan sebuah keberanian, kebaikan dan kesejahteraan di dalam kebudayaan Tionghoa. Warna merah menunjukkan kegembiraan, semangat yang pada akhirnya akan membawa nasib baik. Pakaian yang mereka kenakan juga kebanyakan berwarna merah dan kuning yang biasanya pakaian atau baju tersebut bermotifkan hewan naga. Konon katanya, pada zaman dulu baju bermotif naga hanya boleh di kenakan oleh seorang raja. Tapi sekarang sudah tidak demikian.
Masyarakat Cina mempunyai banyak hari-hari besar yang biasanya sangat meriah peringatannya. Salah satunya adalah peringatan hari raya Imlek, Tahun Baru Imlek, dan lain sebagainya. Pada hari-hari seperti itu biasanya diadakan ata di selenggarakan sebuah pesta di sekitar klentheng, mereka mengadakan pertunjukkan berupa arak-arakan Barongsai, pertunjukan Wayang Potehi, pameran gerabah, dan lain sebagainya. Pertunjukan tersebut biasanya di gelar selama satu minggu berturut-turut.
Membahas orang Cina atau keturunannya (Tionghoa) tidak lepas dari pembicaraan mengenai makanan khas dari masyarakat Tionghoa, yaitu ada Kue Keranjang yangmana kue tersebut bisa di bilang sebagai kue tahunan, ada kuetiaw, ada bakcyang, ada bakso dan mie ayam yang konon katanya menjadi ciri khas makanan masyarakat Cina.
Orang-orang maupun masyarakat Cina, mempunyai ciri khas lain yaitu Sio. Sio adalah sebuah simbol yang mennjukkan sifat seseorang yang dapat di ketahui dari tahun lahir seorang manusia di muka bumi ini. Mereka juga mempercayai apa yang namanya sugesti. Bagi mereka sugesti yang ada di pikiran orang-orang Cina akan sangat mempengaruhi dalam kehidupan nyata mereka. Oleh karena itu, mereka selalu bersugesti hal-hal yang positif yangmana itu dapat membawa kebaikan bagi kehidupan nyata mereka. Misalnya mereka hitung-hitungan masalah untung-rugi. Kebanyakan Orang Cina tidak mau rugi dalam hal bisnis atau usaha. Mereka akan berusaha untuk menjual habis barang dagangannya dengan harga yang sama. Mereka tidak akan menjual barang dagangan mereka dengan harga yang rendah agar dagangan mereka habis. Mereka berpikiran bahwa setiap upiah yang dapat mereka jual itu sangatlah menguntungkan. Mereka selalu membedakan antara uang modal dengan uang penghasilan. Beda sekali dengan orang-orang atau penduduk lainnya yang ada di Indonesia.
Orang Cina juga memiliki budaya untuk orang yang meninggal. Biasanya orang Cina yang meninggal dunia akan di mintakan  hari baik ke orang pintar atau orang yang tahu sekali akan budaya Cina. Orang yang meninggal tersebut akan di perhitungkan antara hari lahir dan hari meninggalnya itu. Hal terseut di lakukan guna mencari hari baik untuk dilakukan pemakaman bagi orang Cina yang telah meninggal dunia tersebut. Orang Cina yang meninggal dunia, biasanya dimakamkan sesuai permintaan orang yang meninggal atau permintaan dari pihak keluarga yang di tinggalkan, apakah menginginkan jasad dari orang cina tersebut di bakar ataukah langsung di kuburkan di tempat pemakaman.
Budaya orang atau masyarakat Cina tidak hanya yang telah di ceritakan diatas, ada lagi kebiasaan yang disebut dengan Pancya. Pancya adalah bancaan atau syukuran dimana itu sebagai perwujudan rasa syukur kepada dewa dewi atas nikmat yang telah di berikan kepada mereka. Selain itu, mereka juga mempunyai kebiasan yaitu  jika bertamu ke rumah orang lain  jangan sekali-sekali menghabiskan sekaligus suguhan yang diberikan oleh orang cina tersebut, setidaknya sisakan sedikit. Disamping itu, ada lagi kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Cina di bidang kesehatan, mereka terkenal akan pengobatan tradisionalnya. Ada juga kesenian olah raga yaitu kungfu.




B.       PEMBAHASAN
a.    Sejarah Masuknya Masyarakat Tionghoa di Indonesia
Orang-orang Cina yang datang ke Indonesia  pada umumnya berasal dari   provinsi  Fukien  dan Kwang Tung (Koentjaraningrat, 2002: 354).
Khusus penghuni kawasan Pecinan  Welahan adalah orang-orang Cina yang berasal dari suku Hokkian, Hokcia, Hinghwa, Hakka atau Khek, Hainan dan lain sebagainya.  Walaupan orang-orang Cina di Welahan terdiri dari berbagai suku, masyarakat Indonesia hanya  membedakan orang-orang Cina berdasarkan keaslian etnisitasnya  sebagai Cina Totok dan  Cina Peranakan. Dalam pandangan masyarakat Indonesia Cina Totok adalah orang-orang Cina yang dilahirkan oleh ayah dan ibu yang berasal dari Cina, dilahirkan di Cina dan  melaksanakan  tradisi atau kebiasaan-kebiasaan  sesuai dengan tradisi dan  kebiasaan dari negeri  asalnya. Cina Peranakan adalah orang Cina yang dilahirkan dari  perkawinan  orang  Cina dan perempuan setempat (pribumi)  dan  mereka  sudah  tidak  terlalu  ketat  melaksanakan  adat dan tradisi dari negara asalnya, bahkan dalam kehidupan sehari-hari mereka menyesuaikan diri dengan adat, tradisi dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat.
Budaya dan tradisi Cina di kawasan Pecinan  walaupun sudah mengalami perubahan tetapi masih terpelihara dengan baik. Hal ini merupakan bentuk ethnosentrisme  dari  masyarakat Cina yaitu perasaan yang  menganggap kebudayaan  dan  tradisi dari negeri leluhur mereka lebih tinggi dibandingkan dengan kebudayaan lain. Ethnosentrisme  masyarakat Cina didasari oleh ajaran Confusius yang berasaskan familinisme, yaitu anggapan bahwa semua orang Cina adalah satu  keluarga  besar yang  berpusat di negeri Cina. Ajaran ini bertujuan untuk menyatukan orang Cina di seluruh dunia dan agar mereka selalu ingat dan berbakti kepada  leluhur dan negara asalnya (Hidayat, 1993: 34).
Sejak dicabutnya Instruksi Presiden No. 14/ 1967 yang membatasi aktivitas yang berkaitan dengan kepercayaan dan budaya masyarakat Cina, maka masyarakat Cina  di Kawasan Pecinan dewasa ini sudah lebih leluasa melaksanakan aktivitas yang berkaitan dengan kepercayaan dan budaya mereka. Sebagai akibat dari pergaulan dan interaksi sosial yang cukup lama antara masyarakat Cina dengan kelompok etnis lain, baik pribumi maupun etnis  dari luar Indonesia, dewasa ini masyarakat Cina di kawasan Pecinan sudah banyak yang menjadi pemeluk agama-agama yang diakui negara seperti Budha, Islam, Kristen /Protestan dan Katolik. Orang-orang Cina di  kawasan  Pecinan  Welahan  seperti orang-orang Cina yang ada di daerah-daerah lain di Indonesia, pada umumnya melaksanakan ritual-ritual yang berkaitan dengan pemujaan Budha, Tao dan Confusius.
Falsafah  Cofucianisme  lebih menekankan pada etika kehidupan yang bersifat duniawi (Koentjaraningrat, 2002: 367). Ajaran Confucianisme merupakan cara pembelajaran menjadi manusia melalui interaksi dengan sesama manusia secara terus menerus.  Pembelajaran menjadi manusia ini mengandung empat dimensi pemahaman yaitu pertama, berkaitan dengan cara menyatukan dan menyelaraskan antara hati dan pikiran dengan tubuh dan jiwa. Kaduna, care menjalin hubungan yang  bermanfaat dengan komunitas manusia secara luas, baik dengan keluarga, masyarakat, bangsa dan komunitas global. Ketiga, care menjalin hubungan yang harmonis,  bermanfaat dan berkelanjutan dengan alam. Keempat, care menyelaraskan  hubungan  antara  jiwa dan  pikiran dengan Tuhan  penguasa semesta (Tu  Wei - Ming , 2005: 14).
Interaksi  sosial dengan  masyarakat dari berbagai etnis yang ada di Indonesia yang telah berlangsung lama menyebabkan pengaruh budaya dari etnis lain masuk ke dalam budaya Cina. Pengaruh  budaya Melayu dan budaya Jawa tampak pada budaya Cina yang bersifat material (fisik) dan non material. Berkaitan dengan kegiatan  religi, tradisi dan  kepercayaan masyarakat Cina tidak mengalami pengaruh yang signifikan dari kepercayaan lain karena masyarakat Cina masih sangat kuat menjalankan aktivitas kepercayaan Tao dan Confusius.



b.    KARAKTERISTIK ETNIS DARI BUDAYA TIONGHOA
Karakteristik dari budya dibagi menjadi dua, yakni eksternal dan internal, eksternal  adalah  wujudnya, atau  bentuk dari  budaya itu sendiri, sedangkan internal adalah karakternya yakni spiritnya dari budaya itu. Namun para ahli masih berbeda pendapat  mengenai  kedua  karakteristik ini, kalau  disimpulkan  wujud eksternalnya dapat dibagi menjadi empat aspek,yaitu:

1. Aspek yang biasa disebut dengan aspek Kesatuan
Budaya Tionghoa dalam sejarahnya selama ribuan tahun, secara pelan-pelan membentuk sebuah budaya yang menjadikan Tionghoa sebagai pusat/sentral, dan bersamaan juga menhimpun budaya bangsa lain menjadi bagian/terintegrasi dalam budaya Tionghoa. Bentuk penyatuan ini berfungsi kuat dalam pengasimilasian, dan perlu kita ketahui bahwa budaya tionghoa dalam sejarah Tiongkok jaman apapun tidak pernah pecah dan tercerai berai.walaupun mendapatkan ancaman dari luar,kekacauan politik,perpecahan negara., budaya Tionghoa masih tetap utuh kokoh.karakteristik ini sangat sulit ditemukan dalam kebudayaan bangsa lain didunia.

2. Aspek yang kedua yaitu aspek Kontinu / berkesinambungan
Dalam zhongguo wenhua gailun-garis besar budaya Tionghoa, Li Zhonghua, mengatakan bahwa kebudayaan Tionghoa dalam sejarah perkembangannya tidak pernah putus,melainkan berkembang secara berkesinambungan dalam berbagai dinasty.tidak seperti kebudayaan Mesir kuno, Babylon, ataupun kebudayaan Yunani kuno.

3. Sangat menerima, dan tenggang rasa
Budaya Tionghoa sangat welcome  terhadap budaya lain. semuanya diterima baik didalamnya.seperti agama Buddha yang berasal dari India, semuanya diterima menjadi bagian dari budaya Tionghoa itu sendiri.

4. Yang ke empat adalah Aspek keanekaragaman
Meskipun budaya Tionghoa merupakan satu kesatuan yang utuh ,namun dengan berbagai suku bangsa dan sub suku bangsa didalamnya menjadikannya sangat beraneka ragam.

Adapun karakteristik internal itu juga banyak aspeknya, tapi pada umumnya adalah

1. Karakteristik filosofis.
Menurut Feng Youlan, budaya Tionghoa ditinjau dari aspek filosofisnya adalah unsur confusianisme yang dominan, confusianisme sangat berperan penting dalam membangun moralitas dan psikologis orang Tionghoa.

2. Karakteristik religius
Menurut Ren Jiyue, budaya Tionghoa dari aspek religius terbentuk dari tiga agama yang menyatu, yakni konfusianisme,taoisme,dan buddhisme.

3. Karakteristik estetika
menurut Li Zehou, budaya Tionghoa dtinjau dari aspek estetika, tradi budaya Tionghoa terbentuk dari kumpulan aspek sosiopolitik dan filosofis.

4. Karakteristik etika
Menurut Liang Shuming, budaya Tionghoa menjadikan etika,hubungan antar manusia sebagai dasar, orang tua harus menyayangi anaknya,anak harus berbakti terhadap orang tua,dll.

c.    Sejarah Kota Welahan
Pada tahun 1830 dimana Gubernur Jendral Belanda yaitu Johanes Graaf Van Bosch berkuasa di Indonesia, yang pada waktu itu disebut penjajahan Hindia Belanda, datanglah seorang Tionghoa totok dari Tiongkok bernama Tan Siang Boe. Kepergiannya dari Tiongkok menuju ke Asia Tenggara tersebut perlu mencari saudara tuanya bernama Tan Siang Djie di Indonesia. Sewaktu berangkat dari Tiongkok bersamaan dalam satu perahu yang ada di dalamnya seorang Tasugagu Pendeta dimana Tasu tersebut selesai bersemedi dari Pho To San di wilayah daratan Tiongkok, yang merupakan tempat pertapaan dari paduka menteri/ kaisa “ Hian Thian Siang Tee “.
Ditengah perjalanan tasu tersebut jatuh sakit, sehingga dirawat Tan Siang Hoe dengan bekal obat – obatan yang dibawanya dari Tiongkok, sehingga sembuh. Sebagai terima kasih, Tan Siang Boe diberikan satu kantong yang berisi barang–barang pusaka kuno Tiongkok antara lain sehelai sien tjiang (kertas halus bergambar Paduka Hian Thiam Siang Tee), sebilah po kiam (pedang Tiongkok), satu hio lauw (tempat abu), dan satu jilid tjioe hwat (buku pengobatan/ramalan).
Setelah Tan Siang Boe tiba di Semarang, menginap di rumah perkumpulan “Kong Kwan” memperoleh keterangan bahwa saudara tuanya / kakaknya ada di daerah Welahan Jepara, maka dia pergi untuk menjumpai Tan Siang Djie di tempat tersebut.
Di sana dia dapat berjumpa dengan saudara tuanya yang masih mondok berkumpul dalam satu rumah dengan keluarga Liem Tjoe Tien. Rumah tersebut masih ada terletak di Gang Pinggir Welahan dan rumah itu sampai sekarang dipergunakan tempat buat menyimpan pusaka kuno “klenteng”sebagai tempat pemujaan dan dihormati oleh setiap orang Tionghoa yang mempercayainya, setelah beberapa waktu lamanya, Tan Siang Boe menetap dengan kakaknya di Welahan, maka pada suatu hari pergilah ia bekerja di lain daerah, sedangkan barang yang berisi pusaka kuno tersebut dititipkan kepada kakaknya. Mengingat keselamatan akan barang-barang titipan tersebut maka oleh Tan Siang Djie barang tersebut dititipkan kepada pemilik rumah Liem Tjoe Tien yang selalu disimpan di atas loteng dari rumah yang didiami. Pada waktu itu, pada umumnya masih belum mengetahui barang pusaka apakah gerang yang tersimpan di atas loteng itu. Selama dalam penyimpanan di atas loteng tersebut setiap tanggal tiga yaitu hari lahir “sha gwe” yakni hari Imlex Seng Tam Djiet dari Hian Thiam Siang Tee, keluarlah daya ghaib dari barang pusaka tersebut mengeluarkan cahaya api seperti barang terbakar, sewaktu-waktu keluarlah ular naga dan kura-kura yang sangat menakjubkan bagi seisi rumah. Dengan kejadian itu dipanggilah Tan Siang Boe yang semula menitipkan barang tersebut untuk kembali ke Welahan guna mebuka pusaka yang tersimpan di dalam kantong tersebut. Setelah dibuka dan diperlihatkan kepada orang-orang seisi rumah sambil menuturkan tentang asal mula barang tersebut sehingga ia dapat memiliki pusaka kuno Tiongkok. Dengan adanya asal mula pusaka tersebut maka orang-orang seisi rumah mempunyai kepercayaan bahwa pusaka kuno itu adalah wasiat peninggalan dari Paduka Hian Thiam Siang Tee maka dipujanya menurut adapt leluhur.
Pada suatu hari Lie Tjoe Tien sakit keras dan penyakitnya dapat disembuhkan kembali dengan kekuatan ghaib yang ada di pusaka, dengan kejadian itu maka dari percakapan mulut ke mulut oleh banyak orang sehingga pusaka itu dikenal namanya, dihormati, dan dipuja-puja oleh orang yang mempercayainya hingga sekarang.
Menurut keterangan, satu-satunya pusaka Tiongkok yang pertama kali di Indonesia yang dibawa oleh Tan Siang Boe pusaka tersebut yang tersimpan di Welahan sehingga ada perkataan lain bahwa keberadaan klenteng di Welahan adalah yang paling tua di Indonesia.
Pengunjung
Dengan keberadaan klenteng yang berada di Welahan bukan hanya didominasi keturunan Tionghoa saja tetapi juga pribumi yang berdatangan dari berbagai kota maupun propinsi untuk memohon pengobatan, tanya nasib, jodoh, bercocok tanam, serta mohon maju dalam usahanya, dan sebagainya
d.   Peninggalan Budaya di Welahan
KLENTENG WELAHAN
Kelenteng Hian Thian Siang Tee merupakan kelenteng tertua di Indonesia. Hal ini dapat diruntut dari sejarahnya di Wikipedia. Sampai di Welahan (pasca banjir) aku menyusuri jalanan Pasar Welahan untuk menuju kelenteng. Walau aku orang Jepara, tapi baru kali ini aku mengunjungi kelenteng Hian Thian Siang Tee tersebut. Sempat beberapa kali tanya orang setempat akhirnya aku sampai juga di kelenteng Hian Thian Siang Tee.
Kelenteng ini ternyata sepi, walau hari Imlek tapi tidak begitu ramai. Setelah aku bertanya ke beberapa orang di dalam kelenteng ternyata acaranya Imleknya sudah berlangsung malamnya. Aku meminta ijin untuk sekedar mengabadikan beberapa sudut kelenteng tertua di Indonesia ini. Aroma dupa masih begitu terasa saat aku memasuki kelenteng ini, sayang aku hanya diperbolehkan mengambil gambar bagian luarnya saja. Sedangkan bagian dalam yang tertutup oleh tirai tidak diperkenankan karena privasi.
 Welahan atau Klenteng Hian Thian Siang Tee terletak 24 km ke arah selatan dari pusat kota Jepara, tepatnya di Desa Welahan, Kecamatan Welahan, Kabupaten Jepara. Awalnya kienteng tersebut dibangun sebagai tempat penyimpanan pusaka Thiongkok. 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjMlMpVgZ3JICdExrUsrQ8GqR1wNx34EujKNaP4bZeakN4nXuYea2QXuCoce53Kq5rlLK_xwOZ85ZEe105APQAtO7lPTfKQCCQdpeycH_ayR9ry7HfB7pQE2I1XnR0L-XCPeWBh_4Vu3TbQ/s1600/3.jpg
Namun, dalam perkembangannya kienteng tersebut berubah fungsi menjadi ternpat untuk sesembahan para dewa dan menyimpan abu dari para leluhur. Kini, kienteng Hian Thian Siang Tee bukan hanya dikunjungi keturunan Tionghoa saja melainkan penduduk pribumi berdatangan dari berbagai kota maupun provinsi.
Objek wisata sejarah ini didukung dengan berbagai prasarana di antaranya akses yang mudah dijangkau oleh kendaraan roda dua maupun roda empat atau angkutan umum, lokasinya pun mudah dicari karena lokasi Klenteng Welahan berdekatan dengan pasar Welahan. 


e.    PERNIKAHAN DALAM TIONGHOA
Pernikahan menurut tradisi Tionghoa atau  masyarakat Cina. Kelahiran, pernikahan dan kematian itu adalah tiga hal penting dalam kehidupan manusia dan tentunya dalam budaya Tionghoa juga menjadikan ketiga hal itu amat penting bahkan sakral. Biasanya diberikan sebuah surat yang  diberikan oleh keluarga calon mempelai pria untuk keluarga calon mempelai wanita untuk memberikan kepastian dan menjamin pernikahan itu akan dilaksanakan, bukan sekedar main-main.
Kegiatan yang sudah sangat langka dan berupaya untuk dilestarikan adalah prosesi pernikahan tradisional Tionghoa peranakan Chio Tau. Chio Tau lahir dari perpaduan antara budaya Tionghoa dan Betawi yang tampak dari pernak-pernik yang dikenakan oleh pengantin. Kegiatan ini digelar sebagai bentuk kegiatan CSR Mal Ciputra dalam mengisi perayaan tahun baru imlek yang dilaksanakan Minggu (5/2/2012) lalu, menarik minat pengunjung pusat perbelanjaan di Jakarta Barat tersebut. Beragam rangkaian prosesi yang terdiri dari 13 tahapan harus dilalui oleh pasangan yang dinikahkan pada hari itu agar resmi menjadi pasangan pengantin Tionghoa. Prosesi tersebut diantaranya penghormatan kepada Pencipta di meja Sam Kai, penyisiran rambut yang dilakukan oleh saudara termuda dari pengantin sambil berteriak “panjang jodoh, panjang umur, panjang rejeki“, pemberian uang pelita dari orang tua atau yang mewakili, pemakaian baju pengantin, pay ciu memberikan minum arak kepada pengantin, makan 12 jenis makanan yang disajikan dalam mangkok sebagai simbol makanan sepanjang tahun, makan nasi melek yaitu simbol suapan terakhir dari ibu kepada anaknya, pemasangan oto yaitu kantong kain yang diikat di perut berisi ang pao, buku tong shu dan kue sebagai simbol orang tua membekali anak perempuannya dengan pengetahuan dan penganan serta pemasangan kerudung hijau. Lalu ada prosesi sawer, sembayang kawin di meja pemujaan, soja pengantin, suap-suapan pengantin dan terakhir teh pay.
1329055320704581951
Pengantin wanita dalam pernikahan Chio Tau (dok. koleksi pribadi)
Dari beragam kegiatan di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya Tionghoa memberikan akulturasi yang unik dalam memperkaya budaya Indonesia. Satu harapan semoga ke depannya masyarakat Indonesia pun akan lebih memahami, mencintai dan menghargai warisan budaya Tionghoa sebagai budaya negeri sendiri yang turut memperindah taman budaya Indonesia.

f.         TRADISI ANAK ANGKAT DALAM TIONGHOA
Guo Fang/Kwee Pang (Guo Fang Yi Shi) adalah istilah yang sering kita dengar di kalangan Tionghoa. Tradisi Kwee Pang sebetulnya juga dikenal oleh budaya/agama lain (dengan istilah atau nama lain), karena pada prinsipnya Kwee Pang adalah merawat anak orang lain dan diperlakukan bagaikan anak kandung. Anak-anak yang sakit-sakitan atau mempunyai nasib yang kurang baik biasanya disiasati dengan melakukan ritual Kwee Pang (diangkat anakkan kepada orang lain). Tapi dalam Agama Tao sebaiknya anak di Kwee Pang kan kepada Dewa-Dewi. Kenapa bisa ada permohonan perlindungan kepada para Dewa-Dewi ? Karena Dewa-Dewi akan lebih bisa melindungi dan menjaga anak tersebut daripada manusia.
Pada umumnya sistem mengangkat anak kepada Dewa-Dewi ini hanya berlaku hingga anak berumur 16 tahun atau ketika memasuki usia 21 tahun (bisa juga saat menikah). Selewat itu, anak dianggap berhasil melewati kondisi bahaya nya dan berhasil selamat memasuki hingga usia dewasa; dan hubungan itu terputus seketika. Umumnya Kwee Pang dilaksanakan pada saat umur anak masih dibawah 12 tahun. Ada juga konsep Guo Fang yang tidak mengenal batasan umur; dimana hubungan anak angkat Dewa akan selamanya terjalin.
Kwee pang atau mengangkat anak atau meminta anak kita untuk diangkat anak oleh orang lain, dalam khasanah bahasa Tionghoa amat banyak penyebutannya (istilah); beberapa diantaranya adalah : Jibai, Guoji, Baiqie, Shouyang, Qiyang, Jifang, Baoyang, dan Jisi.
Tradisi mengangkat anak atau menyerahkan anak untuk “diasuh” orang lain memiliki beberapa alasan, diantaranya :
1.    Anak sakit-sakitan atau mempunyai nasib yang kurang baik.
2.    Anak sulit di ajar/di didik.
3.    Mengharapkan agar anak yang dipelihara oleh orang lain (terutama oleh mereka yang mampu, berkharisma atau terpelajar) agar bisa mewarisi kemampuan orang tua angkatnya.
4.    Membantu mereka yang kesulitan (terutama secara ekonomi) agar anaknya bisa menuntut ilmu/belajar.
5.    Meneruskan marga atau melanjutkan abu leluhur.
6.    Terlalu banyak anak
7.    Tidak harmonisnya anak sebagai microcosmos dengan keluarga sebagai macrocosmos
Dengan adanya empat poin diatas, maka makna dari penyebutan di atas bisa tidak sama satu sama lainnya. Pada umumnya anak yang diangkat apabila diangkat/diasuh oleh marga yang berbeda, ada yang berganti marga dan ada yang tidak berganti marga. Untuk Guofang dan Guoji tidak berganti marga; tetapi jibai, baiqie, shouyang, dan qiyang bisa berganti marga (ikut marga orang tua asuh).
Masyarakat di pesisir Fujian dan Guangdong banyak yang mempercayai bahwa Chen Jinggu atau dikenal juga dengan Lin Shui Fu Ren adalah Dewi pelindung anak hingga anak memasuki usia dewasa. Selain  itu ada juga Zhusheng Niang-Niang sebagai Dewi kelahiran dan penjaga anak. Karena itu banyak dihormati  (terutama di Taiwan)  oleh para orang tua serta banyak anak-anak yang sejak kecil meminta perlindungan yang ritualnya memiliki kemiripan dengan Kwee Pang Dewa-Dewi lainnya.
Contoh misalnya jika anak memiliki  jiwa penakut, maka di Kwee Pang kepada Dewa Kwan Kong biar memiliki sifat keberanian dan sifat tanggung jawab. Jika anak sakit-sakitan maka di Kwee Pang kan  kepada Dewa panjang umur (Shou Xing). Kalau mau anaknya pintar lantas mencari Dewa Wenchang Dijun dan lain sebagainya. Jadi  tujuan Kwee Pang yang sebenarnya adalah pengharapan agar anaknya  kelak bisa menjadi orang yang baik dan sehat (dicari orang tua angkatnya yakni para Dewa-Dewi untuk melindungi anaknya).
Guo fang  atau Kwee pang di masyarakat Tionghoa Indonesia sering digunakan untuk mereka yang diangkat anak oleh manusia maupun Dewa-Dewi. Pengangkatan anak kepada Dewa-Dewi tidaklah selalu harus dilakukan jika anak sakit-sakitan; karena pada umumnya jika anak sakit maka pihak keluarga akan mengundang tabib/dokter.  Jarang terjadi kasus sang anak kemudian tinggal bersama orang tua angkatnya kecuali sang anak berasal dari keluarga miskin dan kemudian dititipkan pada keluarga yang lebih kaya.

g.   PELAKSANAN PEMBAGIAN WARIS MASYARAKAT TIONGHOA

Dalam  melaksanakan  pembagian  warisan  masyarakat Tionghoa dihadapkan dengan dua pilihan hukum yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Waris Adat Tionghoa.
Waris Adat Tionghoa adalah waris yang dilaksanakan dalam kurun waktu yang lama dari sebelum masyarakat Tionghoa menjadi warga negara Indonesia sampai masyarakat Tionghoa menjadi  warga negara Indonesia.
Masyarakat Tionghoa lebih memilih waris adat Tionghoa daripada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) dikarenakan  masyarakat Tionghoa sudah sejak turun-temurun  melaksanakan  warisan secara adat dan masyarakat Tionghoa selalu memegang teguh adat istiadat Tionghoa.
Faktor yang menyebabkan penyimpangan dalam pembagian waris adat Tionghoa adalah  dikarenakan  terjadinya pembauran atau asimilasi antara budaya Tionghoa dengan budaya setempat, penyimpangan tersebut adalah perempuan mendapatkan warisan, Ahli waris  perempuan yang mendapatkan warisan tidak boleh besar dari warisan laki-laki atau biasanya dengan ketentuan 1 / ½.
Oleh sebab itu maka hukum waris adat Tionghoa juga diakui oleh hukum positif   negara Indonesia akibat hukumnya adalah apabila terjadi suatu sengketa warisan maka yang berperan dalam penyelesaiannya adalah orang-orang yang di tuakan  bisa juga paman ataupun  tokoh masyarakat. Dan perlu diingat masyarakat Tionghoa  sangat tidak suka apabila penyelasaian sengketa terjadi di pengadilan.
Upaya Hukum  yang  dilakukan oleh ahli  waris adalah apabila terjadi sengketa dalam pembagian warisan, maka diselesaikan secara kekeluargaan dan apabila tidak dapat diselesaikan dengan kekeluargaan maka akan diselesaikan di Pengadilan.
Dalam pembagian  warisan secara adat Tionghoa, saudara laki-laki bungsu berperan penting dalam mengurus harta warisan dan harus memberikan contoh terbaik bagi saudara-saudaranya dan juga harus mengurus abu leluhur.
Apabila terjadi sengketa dalam pembagian warisan secara adat Tionghoa, maka akan diselesaikan  secara kekeluargaan. Apabila tidak mencapai kesepakatan maka akan ditempuh dengan jalur hukum atau ke Pengadilan Negeri.

 h.  BARONGSAI

Barongsai adalah kesenian peninggalan  masyarakat Tionghoa. Kesenian ini berupa pertunjukan sebuah atraksi dari barongsai yang mana merupakan sebuah pertunjukan yang diyakini dapat mengusir roh-roh jahat. Hal tersebut dapat di lihat dari kegiatan warga Tionghoa Jepara Mengadakan Arak Arakan / Karnaval tentunya yang mengikuti arak-arakan pastilah khusus warga keturunan China.  Hal ini diketahui dari sebuah kabar malam di sebuah fanspage lokal di salah satu kota yang terkenal akan ukiannya yakni kota Jepara karena runtutan CEKBENG ini sudah sehari sebelumnya.
 
Foto barongsai
i.      PAMERAN SENI-BUDAYA TIONGHOA       
Ibarat sebuah taman bunga yang luas dengan aneka bunga yang memiliki beragam pesona dan keindahannya, Indonesia memiliki beragam budaya dengan pesona dan keunikan tersendiri yang memperkaya budaya Indonesia. Salah satu kembang dari taman Indonesia adalah budaya Tionghoa yang belum terlalu populer di masyarakat kita. Hal ini dikarenakan pengenalannya terhambat dan berbagai kegiatannya sempat dilarang oleh pemerintah Indonesia di masa orde lama pun orde baru. Pada masa pemerintahan Gus Dur, beliau mengeluarkan kebijakan mencabut Inpres No 14/1967 dengan mengeluarkan Kepres No 19/2001 yang memberikan kebebasan kepada keturunan Tionghoa untuk mengadakan kegiatan budayanya. Salah satu kegiatan pengenalan budaya Tionghoa adalah melalui Pameran Budaya dan Karya Seni Peranakan Tionghoa Indonesia yang diprakarsai oleh Komunitas Lintas Budaya Indonesia bekerja sama dengan Kompas Gramedia yang diadakan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) Palmerah pada 6 - 12 Pebruari 2012.
  13290547031824785019
Beragam  koleksi yang dipamerkan pada Pameran Budaya dan Karya Seni Peranakan Tionghoa Indonesia di Bentara Budaya Jakarta.
Tujuan penyelenggaraan pameran seperti yang terangkum dalam buku panduan adalah untuk meningkatkan kohesi dan komunikasi sosial, sehingga masyarakat umum dapat memberikan apresiasi budaya  Tionghoa tidak hanya barongsai dan permainan liong. Beragam koleksi benda kuno dipamerkan di tiga ruangan  terpisah, di depan pintu masuk ruang pameran utama pengunjung akan disambut  oleh kereta dan tandu dari abad 19 yang dipenuhi motif ukiran cina. Kereta yang terbuat dari kayu jati ini dahulu digunakan kaum Tionghoa peranakan di Jawa Tengah dalam upacara  tedun  (anak turun tanah). Sedang  tandu dipakai sebagai wadah untuk membawa seserahan pada acara pernikahan Jawa; hal ini menunjukkan adanya perpaduan budaya. Tionghoa yang diadopsi dari tradisi Jawa. Seperangkat gamelan kuno dari Surakarta, tempat tidur pengantin abad 19, lemari, altar untuk sembayang, tempat membasuh muka, payung sulaman buatan tahun 1956-1957 dan perabotan lainnya mengisi ruang pameran. Di ruangan lainnya, berbagai macam perabotan rumah tangga yang terbuat dari keramik seperti kendi/tempayan  untuk anggur yang ditemukan di Sumatera maupun Kalimantan, pakaian  pengantin dan beberapa koleksi pernak-pernik yang ditata dalam ruangan kaca. Barang  lainnya yang ikut dipamerkan adalah beragam perhiasan dari perak maupun emas, serta batik peranakan berusia ratusan tahun yang diproduksi di daerah pesisir Jawa seperti Lasem maupun Cirebon.

Pengunjung  yang tertarik dengan dengan cerita silat, dapat berbincang-bincang dengan kolektor buku-buku kuno yang menggelar koleksi bukunya di selasar BBJ. Buku  Chinese Indonesia Peranakan”  A Cultural Journey yang diluncurkan  pada  pembukaan  pameran dapat melengkapi koleksi pustaka untuk menambah pengetahuan budaya Tionghoa peranakan dari berbagai daerah Indonesia.
  Apa Itu Tionghoa Peranakan?
Tak adanya perempuan Tionghoa totok untuk dinikahi membuat orang Tionghoa mengambil perempuan pribumi sebagai istri. Di Indonesia, setelah peristiwa penumpasan orang Tionghoa di Batavia tahun 1740, orang Tionghoa mempunyai  kecenderungan untuk melebur ke dalam masyarakat pribumi. Keturunan yang lahir dari perpaduan Tionghoa totok dan pribumi inilah yang kemudian disebut sebagai Tionghoa peranakan Indonesia.
Onghokham dalam bukunya Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa menyebutkan  yang  dimaksud  sebagai kaum Tionghoa peranakan adalah mereka yang secara kebudayaan mempunyai budaya akulturasi antara budaya Tionghoa, lokal (Melayu, Sunda atau Jawa) dan Eropa (terutama Belanda). Dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak bisa berbahasa Tionghoa melainkan berbahasa Melayu/Indonesia dan/atau bahasa daerah Indonesia lainnya sebagai bahasa ibu. Bahkan di masa lalu banyak warga Tionghoa peranakan yang fasih berbahasa Belanda dalam kehidupan sehari-hari.
  





j.                        WAYANG POTEHI
Wayang Potehi
Potehi  berasal  dari kata poo (kain), tay  (kantong), dan hie (wayang), secara harfiah  wayang  potehi dikenal sebagai wayang berbentuk kantong kain. Orang yang  berperan  sebagai dalang memainkannya dengan memasukkan tangan mereka ke dalam kain tersebut. Wayang  ini dimainkan menggunakan kelima jari tangan. Tiga jari tengah (telunjuk, jari tengah, dan jari manis) berfungsi mengendalikan bagian kepala wayang, lalu ibu jari dan jari kelingking berperan menggerakkan bagian tangan wayang.
Wayang  ini  merupakan salah satu  jenis  wayang  khas Tionghoa yang berasal dari  Cina bagian selatan. Menurut  sejarah, diperkirakan jenis kesenian ini sudah ada  pada  masa Dinasti  Jin  (265 – 420  Masehi) dan berkembang pada Dinasti Song (960-1279). Wayang potehi bisa sampai ke Indonesia melalui orang-orang Tionghoa yang datang sekitar abad ke-16.
     Wayang Potehi
Saat  masuk pertama kali di Indonesia, wayang potehi dimainkan dalam Bahasa  Hokkian, namun seiring berkembangnya waktu, Bahasa dan latar cerita yang disuguhkan pun menyatu dengan budaya Indonesia. Kini, banyak dalang wayang potehi yang bukan dari peranakan Tionghoa, tetapi dari suku lain seperti suku Jawa.
Salah  satu penggiat kesenian wayang potehi yang berasal dari suku jawa yakni  Dwi Woro Retno Mastuti. Akademisi Universitas Indonesia ini mengangkat potehi  sebagai bahan penelitiannya, ia mengajak mahasiswa-mahasiswanya untuk ikut  memainkan  wayang  yang hampir punah ini. Ibu Woro, sapaan akrabnya, selalu mengajak mahasiswanya untuk mengikuti acara-acara yang menghadirkan wayang potehi. Mereka ditugaskan memainkan wayang  tersebut sebagai dalang.
Dwi Woro Retno Mastuti
Bagi Ibu Woro wayang potehi sudah bukan  milik orang  tionghoa saja,  namun  sudah  menjadi  kesenian  peranakan  milik Indonesia.  “Ini  punya Indonesia,  siapapun  berhak untuk mengembangkan. Siapapun  punya kesempatan untuk melestarikannya, bagi yang punya passion disini, mari sama-sama kita kembangkan wayang potehi,” ujarnya.
Bukan  sekadar  seni pertunjukan, wayang potehi bagi etnik Tionghoa memiliki fungsi sosial serta ritual. Tidak  berbeda dengan wayang-wayang lain di Indonesia, beberapa  lakon yang  sering dibawakan dalam  wayang  potehi adalah Si Jin Kui (Ceng Tang dan Ceng Se), Hong Kiam Chun Chiu, Cu Hun Cau Kok, Lo Thong Sau Pak, dan Pnui Si Giok. Setiap wayang bisa dimainkan untuk berbagai  karakter, kecuali Koan Kong, Utti Kiong, dan Thia Kau Kim—yang warna mukanya tidak bisa berubah.
Sebuah bentuk tindakan nyata dalam melestarikan kesenian budaya peninggalan  leluhur yang hampir punah. Semoga tindakan yang dilakukan Ibu Woro bisa menginspirasi generasi  muda untuk tidak meninggalkan budaya dan kesenian bangsa.
 WARISAN BUDAYA BERUPA TEMPAT SEMBAHYANG BAGI ORANG-ORANG TIONGHOA
      https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgphMe_UIIXM20Xt8RBer3K1yfqIySzQzyPFCDpB_3UxJBDz98gYc6r225kLd9aHWDDcM8qFnWXtcenf98QSAkZKZJl07Vej_R8UK73tfXSkv2ebWqhhBnnWKJ09uRqGcna1ycKQ929vWNA/s1600/C2.jpg


           


BAB V
PENUTUP
A.        SIMPULAN
Masyarakat Tionghoa merupakan masyarakat yang mayoritas penduduknya mempunyai garis keturunan China. Karena mereka bertempat tinggal di wilayah Indonesia dan menikah dengan penduduk asli Indonesia, maka keturunan mereka disebut dengan peranakan tionghoa Indonesia. Masyarakat tionghoa mempunyai warisan kebudayaan dari leluhur mereka, diantaranya tradisi anak angkat dalam Tionghoa (kwee pang),  adat penikahan masyarakat tionghoa, pameran seni dan budaya, dan lain sebagainya. Beragam kebudayaan yang ditinggalkan oleh leluhur masyarakat Tionghoa telah memberikan warna tersendiri pada kebudayaan yang ada di wilayah Indonesia. Kebudayaan Tionghoa bisa dikatakan salah satu kebuyaan  milik Indonesia, kaena banyaknya penduduk asli atau keturunan Tionghoa yang tinggal di wilayah Indonesia. Oleh karena itu, sebagai masyarakat Indonesia hendaknya mengetahui apa saja kebudayaan tionghoa dan kebudayaan apa saja yang dimiliki Indonesia, dan masyarakat juga mau ikut berpartisapi dalam melestarikan budaya yang ada di Indonesia ini agar tetap menjadi warisan budaya yang luhur dan berbudi.

B.       SARAN
Sebaiknya sebagai penduduk asli Indonesia, hendaknya mengetahui dan sering mempelajari berbagai macam kebudayaan yang ada di Indonesia dan kita sebagai kaula muda hendaknya ikut aktif dalam kegiatan pelestarian budaya yang ada di Indonesia.  Jangan malu melestarikan budaya kita sendiri, karena budaya Indonesia itu budaya yang luhur dan berbudi.




DAFTAR PUSTAKA
Hermaki. 2006. Unsur Budaya Cina. Semarang: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Musium Jateng Ronggowarsito
Suryadinata, Leo. 2002. Negara dan Etnis Tionghoa. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia
Zein, Abdul Baqir. 1999. Etnis Cina. Jakarta: PT. PRESTASI INSAN INDONESIA
Sutrisno, Mudji. 2009. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius
Aizid, Rizem. 2013. REZIM MAO. Jogjakarta: Palapa
Wicaksono, Michael. 2013. QIN. Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Sumber: sosbud.kompasiana.com/2012/02/12/warisan-budaya-tionghoa-tak-hanya-barongsai-dan-liong-434897.html pukul 10.32
Sumber http://www.tionghoa.info/kwee-pang-upacara-pengakuan-anak-angkat-dewa/ pukul 10.24 2015 tanggal 19 April 2015. Posting pada 27 Oktober 2014









LAMPIRAN
                                                                        
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgphMe_UIIXM20Xt8RBer3K1yfqIySzQzyPFCDpB_3UxJBDz98gYc6r225kLd9aHWDDcM8qFnWXtcenf98QSAkZKZJl07Vej_R8UK73tfXSkv2ebWqhhBnnWKJ09uRqGcna1ycKQ929vWNA/s1600/C2.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjMlMpVgZ3JICdExrUsrQ8GqR1wNx34EujKNaP4bZeakN4nXuYea2QXuCoce53Kq5rlLK_xwOZ85ZEe105APQAtO7lPTfKQCCQdpeycH_ayR9ry7HfB7pQE2I1XnR0L-XCPeWBh_4Vu3TbQ/s1600/3.jpg           
Kelenteng Welahan, yaitu klenteng  Hian Thian Siang Tee” merupakan  salah satu klenteng tertua di Indonesia, yang sering di kunjungi oleh masyarakat Tionghoa di Indonesia.                                 
         
                                                                                                                                                                     
                          
Barongsai di Welahan                                  kesienian Liong
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiIMGMdz25nbh_4R3Fp3xl0RZU-RpZMwHhliPMML2Ffot4noXPiVPLY99A-M6v_d8fJ3jeuNMRXehcnR65f0kUYU8A6dnceigG6Hja9SGd9jmOWvpVJtcnvR4ThKOlGto0o7dwwYyqXwvyw/s1600/Foto0026.jpg
Arak-arakan cekbeng di welahan



Wayang potehi Tionghoa
Dwi Woro Retno Mastuti                              Wayang Potehi
                          Ibu Roro salah seorang dalang wayang potehi

1329055320704581951
Adat pakaian pernikahan dalam tradisi Tionghoa-betawi
13290547031824785019
Pameran budaya




Dokumentasi Foto : Monumen Peringatan Perjuangan Tionghoa Di Air Hitam Penang
Monumen perjuangan Tionghoa
Fotografi : Pengawal & Penjaga Neraka
Pameran kesenian Tionghoa





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar